Selasa, 30 September 2025

Reflecting modernity through a convex glass in a church

Last Sunday morning, while attending weekly mass at kodaira's local catholic church, i noticed something strange. I have been here for some times, but this time is different in my eyes. Several old TV monitor hug at the ceiling. Not a slim LCD TV as we know today, but it is really old bulky convex TV monitor. I don't even know if it is remote operated or not. At first I'm thinking whether the church can not afford to buy a new ones or something else. But using the modernity-sustainability perspective, i'm started to think that it might more than just a matter of affordable or not. 

I see some another perspective of modernity in this old TV. By the way, this old monitor is hung on the ceiling as a teleprompter for the people attending the mass, it tells on what page the reading or the song is. I see that this reflected what the true meaning of modernity. It shows that modernity should be like this. it works just the way it is. it operates just like what it is meant to be. the most important thing is, it is reliable. 

I didn't mention that those TV should to be perfect or never broken to be labeled as "sustainable", it just ready when needed, and troubleshoot-able. Modern tech now is very advance, you can watch tv, at the same time, you can do anything else through your TV, but it is fragile. If it is broken, there is a big chance that you have to dispose it. The other thing is, nowaday's TV are full of sophisticated feature, but do we need them all?. 

This idea of simple, functional modernity isn’t just found in that old church. Think about the old mobile phones from the early 2000s. Their batteries lasted for a week. You could drop them, and they would not break. Their purpose was clear: to make calls and send texts. They fulfilled a need perfectly. Now, compare that to the smartphone in your pocket. It is transformed into powerful computer that can do amazing things, but its battery barely lasts a day, its screen is fragile, and it is full of notifications that constantly demand our attention. For the essential need to communicate, which one is truly more advanced?

So, why have we chosen this path? The answer is not just about technology; it's about culture and economics. We live in a culture of consumerism, where companies spend billions of dollars on advertising to make us feel that our current possessions are outdated. The goal is to create a constant feeling of "want," even when our "needs" are already met. There is also a deeper, more deliberate reason: a concept called "planned obsolescence." Many modern products are intentionally designed to have a short lifespan. They are built to break after a few years, and repairs are often made so difficult or expensive that it’s easier to just buy a new one. This business model forces us to keep consuming. That old television in the church is a quiet protest against this idea. It has survived for decades precisely because it was built to last, not to be replaced.

To be clear, I am not saying we should never buy new tech-stuff. Any kind of technology or innovation emerges to solve a problem. But the real question is, which kind of problem? which kind of needs? This is where wisdom must take its place, allowing us to choose what we truly need from what we just want. In another perspective, those old TVs in the church might have to be replaced, and for a good reason. Safety, for example. A heavy, bulky TV could hurt someone if it falls. The point is not to reject change, but to be wise and think before we take action.

This way of thinking has a serious cost. All these discarded gadgets create mountains of "e-waste", a growing environmental crisis that pollutes our planet. The simple act of using an old device for as long as it works is a powerful act of sustainability. Furthermore, we have lost our sense of control. When that old TV breaks, a local technician might be able to open it and fix it. But a modern device is a sealed "black box." We are completely dependent on the corporation that made it, or we have to buy a new ones.

It all brings me back to that Sunday morning in Kodaira. Looking at that old TV wasn't about seeing the past. It was about seeing a different, wiser idea of the future. It suggests that we should redefine what it means to be modern. Maybe being truly modern is not about chasing the newest, shiniest object. Maybe it is about the wisdom to choose things that are reliable, repairable, and truly serve our needs. Perhaps true modernity is not loud and complicated. Perhaps it is quiet, humble, and simply does its job.

In the end, that old television teaches a final, deep lesson. Our life with technology is not about the next upgrade. It is about the small choices that decide our future. The idea of sustainability can seems so  complicated. But the final result is simple: we will be sustained, or we will perished. The idea of a simple modernity is the answer. We choose to be sustained not in big world meetings, but in the quiet decisions we make every single day.

To tell you the truth, this whole piece is part of a fight I'm having with myself: should I really buy a new Nintendo Switch? It might seem like a small thing. But it is from these small, personal struggles that we choose the kind of future we want.

Selasa, 02 September 2025

Suara-Suara di Ruang Sepi

 Menjalani kehidupan seorang diri adalah sebuah hal berat bagi sebagian orang, salah satunya bagi saya. Setelah sebelumnya menjalani kehidupan dengan tempo yang sangat cepat, kemudian dihadapkan pada sebuah ritme kehidupan yang bergerak lambat membuat saya harus menghadapi rasa kesepian yang luar biasa mengganggu. Kesepian ini seperti memiliki kebisingannya sendiri yang sangat memekakkan telinga saya. Dulu saya pernah berpikir, sepertinya akan sangat nyaman ketika kita bisa melepas keterburu-buruan, menjalani hidup dalam ketenangan dan keheningan. Ternyata itu salah. pada momen-momen tertentu saya merasa "ini mau ngapain lagi ya?". Saya seringkali kehabisan ide untuk mengisi Waktu. Keheningan yang awalnya saya kira menjadi sebuah kondisi yang rileks, menenangkan ternyata bisa sangat bising dan mengganggu. Awalnya saya berpikir bahwa di dalam keheningan, saya dapat lebih focus mengerjakan hal-hal yang penting dengan tenang. namun ternyata di dalam keheningan tersebut, saya juga tidak dapat melakukan tugas-tugas yang saya kira dapat diselesaikan dengan baik.

Rasa kesepian mungkin salah satu yang membawa kabur inspirasi. Apa yang saya pikir dapat tuntas diselesaikan, ternyata pun tidak dapat saya mulai. Seluruh energi sepertinya terfokus pada upaya agar rasa kesepian tidak muncul dan menyerang secara brutal. Mungkin ini mengapa sejarah sering menunjukkan bahwa pengasingan merupakan salah satu metode untuk menghukum seseorang. Sejarah mungkin ingin menunjukkan bahwa hukuman ini relatif lebih aman dan tidak menyulut permasalahan yang lebih besar. Mereka ingin menghukum secara psikis, memaksa si terbuang untuk melunak. Terbayang bagaimana Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Pangeran Diponegoro, Pram dan tokoh lain diasingkan. Bukan untuk mematikan secara fisik, namun mencabut dari segala inspirasi dan lingkungan yang menjadi domain mereka. Bagaimana mereka bertahan saat itu? Di sisi lain, pada saat pengasingan, Sebagian tokoh justru menghasilkan karya-karya terbaiknya. Rahasia ini yang harus saya pecahkan.

Sepertinya saya harus menerima kenyataan bahwa untuk menjadi produktif dalam kondisi saat ini tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Saya perlu berdamai terlebih dulu dengan keheningan yang sangat berisik ini. Salah satunya adalah dengan mendengarkan suara. Tentu saja suara yang saya tahu dari mana sumbernya. Saya tidak ingin menambah tekanan batin dengan tiba-tiba mendengar suara yang tidak jelas dari alam mana sumbernya. Dihadapkan pada pilihan yang sangat terbatas, hiburan saya adalah mendengarkan radio internet atau mendengarkan podcast. Selain itu, terkadang saya memilih untuk mendengarkan video musik secara online. Menyalakan playlist video secara random dan membiarkannya menyala terus menerus. Meskipun beberapa kali konten yang masuk bukan tipe saya, suara-suara itu tetap saya biarkan berbunyi. Ketika saya sedang fokus mendengarkan, terkadang saya secara selektif memilih konten suara yang disodorkan. Namun di lain Waktu saya hanya membiarkan lagu-lagu yang ditawarkan diputar begitu saja. Mendengarkan bahwa ada suara lain di ruangan membuat saya sedikit merasa tidak kesepian. Suara-suara ini memberikan ilusi bahwa saya tidak sedang sendiri.

Di satu titik saya merasa mungkin perilaku ini memiliki faktor genetis di dalamnya. Mungkin ini yang dirasakan oleh ibu saya atau kakek saya. Mereka juga memiliki kebiasaan menyalakan suatu alat yang mengeluarkan suara meskipun mereka tidak benar-benar mendengarkan bunyi apa yang keluar. Setelah ayah wafat, ibu saya tinggal sendiri di rumahnya setelah anak-anaknya dewasa dan berkeluarga. TV di rumah selalu menyala meskipun ibu saya tidak sedang berada di ruangan itu. Seringkali saya melihat bahwa TV masih menyala saat ibu sudah tertidur di ruang tengah. Hal yang sama juga dilakukan oleh kakek saya, mertua ibu. Setelah meninggalnya nenek, saya sering mendengar radio di kamar tidur kakek menyala memperdengarkan suara lakon wayang. Saat itu saya mendengar suara dengkuran lembut dari kamar beliau. Sudah pasti beliau sudah tertidur lelap, pikir saya kakek pasti lupa mematikan radio sebelum tidur. Ternyata kebiasaan ini dapat dilihat sebagai suatu upaya bertahan hidup. Baik itu suara dari gawai modern, suara televisi yang tak pernah mati, maupun lakon wayang dari radio tua, semuanya adalah rekayasa suasana yang sama. Merekayasa suasana untuk memecah kesunyian yang memunculkan perasaan tidak sendiri hanya sekedar menjaga pikiran tidak semakin kalut dan untuk membisikkan pada diri sendiri bahwa di tengah semesta yang mahaluas ini, kita tidak benar-benar sendirian.

Dulu saya merasa keheningan adalah sebuah privilege. Ternyata yang saya cari bukanlah hening, melainkan kendali atas kebisingan di kepala saya. Kebisingan dari rasa sepi itu kini saya lawan dengan kebisingan lain yang saya pilih—suara penyiar radio, perbincangan di podcast, atau alunan musik dari gawai. Inilah rahasia yang mungkin juga ditemukan oleh Bung Karno di pengasingannya atau oleh kakek di kamarnya yang sepi. Mungkin perjuangan untuk tetap waras memang sesederhana itu: mengganti satu suara yang menyiksa dengan suara lain yang menyembuhkan. Mungkin ini bukanlah tentang faktor genetis, melainkan tentang kebutuhan manusiawi yang universal. Kebutuhan untuk mendengar bukti bahwa ada kehidupan lain di sekitar kita. Saya, ibu, dan kakek, kami semua hanyalah pewaris dari sebuah cara bertahan yang sama. Malam ini saat alunan musik dari laptop mengisi ruang, saya merasa menjadi bagian dari sebuah tradisi sunyi. Sebuah tradisi merekayasa suara untuk menjaga kewarasan, untuk membisikkan pada diri sendiri bahwa di ujung malam yang panjang, pasti akan datang pagi.

Jumat, 30 Mei 2025

Khong Guan: Biskuit Lebaran Tanpa Menunggu Lebaran

Hari jumat kemarin saya mencoba ikut acara komunitas baru. Bukannnn, bukan komunitas rahasia yang membahas teori konspirasi bahwa bumi berbentuk segi tiga sama sisi. Bukan juga komunitas intelektual yang rutin mendiskusikan kemungkinan cabai dengan sebagai alternatif pemanis pengganti tebu. Lebih jelasnya ini adalah komunitas menggambar. Iya, aktivitas mungkin hanya menarik garis di kertas, membuat bentuk kurva dengan pensil, menghapus goresan pensil dengan penghapus, mengoles-oles warna dengan kuas. Mungkin justru sebagian besar kegiatan di aktivitas ini adalah memandang dengan tatapan kosong ke segala penjuru untuk memikirkan "abis ini kuasnya belok ke kiri apa kanan ya". 

Mungkin memang nasib mujur peserta baru, tiba-tiba menang doorprize di acara itu. Paulo Coelho dalam The Alchemist menyebut fenomena kemujuran ini sebagai "beginner's luck". Mungkin ini bagian dari mekanisme semesta untuk memberikan dukungan moral bagi seseorang yang menekuni hal baru agar sedikit lebih tekun sebelum benar-benar menyesal terjerumus lebih dalam. Ibaratnya, beginner's luck ini adalah semacam teaser, sayangnya bukan paket berlangganan gratis selamanya. Menariknya, doorprize yang diberikan adalah assorted biskuit Khong Guan (KG), dalam kemasan sachet 300 gram. Bukan hanya soal menang hadiah, ini seperti kode dari alam semesta , “Selamat datang di dunia baru sambil menikmati biskuit legenda!”. Dari situ terpikir bahwa biskuit ini bukan cuma camilan, tapi juga cerita besar tentang brand yang menjadi raja di hati orang Indonesia, apalagi saat Lebaran.

Kita semua sangat paham bahwa biskuit KG sudah memiliki dominasinya sendiri di dunia per-biskuit-an. Posisinya mungkin bukan sebagai biskuit pertama yang menjadi referensi orang ketika ingin kudapan secara random, bukan pula sebagai snack yang digilai anak-anak pada umumnya. Saya jarang - atau - tidak pernah melihat di supermarket ada anak yang nangis tantrum minta dibelikan biskuit ini. Tapi brand ini menjadi top of mind saat lebaran. Biskuit KG mungkin sudah menjadi standar representatif apakah sebuah rumah sudah siap merayakan lebaran atau belum. Disini kita melihat bahwa brand ini kuat secara holistik. bukan hanya produknya yang punya market perception bagus, bahkan packagingnya urun menyumbang engagement luar biasa dengan konsumen. Sepertinya belum ada brand selain KG yang visualnya viral jadi meme populer, dan jadi bahan komedi. Satu lagi, mungkin hanya biskuit ini yang membuat kemasan dengan bahan berstandar bodi mobil atau pesawat (anda pasti pernah mendengar istilah "pesawat kaleng", atau "mobil berbodi kaleng"). Bayangkan di universe lain, elon musk akan menelepon ke Indonesia sebelum memproduksi pesawat luar angkasanya "Bro, ready stock kaleng Khong Guan berapa?"

Dengan kedigdayaan sebesar itu, KG bisa saja tinggal duduk di singgasana menikmati segala kemasyurannya. Mau apa lagi, market share sudah ada, awareness sudah tinggi, pola demand sudah terbentuk, engagement sudah di puncak-puncaknya. Tapi meskipun sudah duduk manis di singgasana, KG tahu biskuit kaleng mereka mulai terasa mahal buat sebagian orang. Inflasi tahunan, ongkos produksi naik, daya beli masyarakat melempem—klasik. Mereka tidak mau pasar setia kabur bukan karena mereka sudah tidak menginginkan produknya. Dari situ lahirlah inovasi cerdas: biskuit KG dalam kemasan plastik 300 gram! Bukan spin-off biskuit rasa matcha unicorn atau rasa spicy marshmellow, karena prinsip mereka jelas: “Kalau nggak rusak, buat apa diperbaiki?”. Dengan kondisi perekonomian seruwet ini, mungkin orang akan membeli biskuit kaleng hanya menjelang momen lebaran. Tentu saja hal ini berat bagi perusahaan, cashflow tidak merata, revenue tidak stabil. "Bagaimana membuat orang bisa lebih mudah membeli produk ini?"adalah pertanyaan utama yang ingin dijawab dengan hadirnya kemasan  plastik 300 gram. 

Melalui kemasan plastik ini Khong Guan ingin menegaskan, “Nggak perlu nunggu lebaran buat beli biskuit lebaran!”. Biskuit ini umumnya dikenal sebagai occasional snack, yaitu kudapan yang dikonsumsi pada kesempatan tertentu, contohnya, ya tadi, lebaran. Dengan kemasan 300 gram yang secara ukuran tidak terlalu kecil, pada saat yang sama juga tidak terlalu besar, Khong Guan ingin masuk ke ranah "casual snack", yaitu snack yang bisa dinikmati kapan saja. Kemasan ini punya ukuran yang sangat pas. Bukan sekotak kecil yang membuat konsumen merasa "yah.. udah abis aja, baru juga pemanasan". Ukuran ini pun tidak terlalu besar sampai pembeli harus berpikir menyiapkan saldo tertentu dan menunda beberapa pengeluaran darurat hanya untuk membelinya. Ukuran 300 gram ini seperti membuat statement yang tegas “Aku akan cukup buat nemenin kamu nonton drakor semaleman tanpa bikin kamu ngenes liat sisa duit di dompet. Aku juga bisa nemenin kamu ngerjain tugas tanpa merasa dikerjain.” Ini adalah ukuran yang ramah dompet, ramah perut, dan ramah kaleng lawas yang sudah nunggu bertahun-tahun buat diisi ulang.

Kenapa harus  plastik lembaran, bukan kemasan  plastik box? Disini terlihat Khong Guan sekali lagi menggunakan kartu as-nya secara cerdik. Kita tahu seberapa awet kemasan kaleng biskuit ini, seberapa monumental engagement yang dihasilkannya, dan mereka pasti paham se-ngirit apa masyarakat kita. Mereka paham bahwa mungkin 3 dari 5 rumah tangga di Indonesia pernah membeli produk Biskuit KG kemasan kaleng (mungkin beli tahun lalu, tiga tahun lalu, atau mungkin pernah beli saat periode pemerintahan sebelumnya, dan bisa jadi 70% diantara pembeli itu masih menyimpan kaleng lawas-nya. Sepertinya premis yang ingin diangkat melalui produk kemasan plastik ini adalah "daripada diisi rengginang, mending diisi biskuit lagi?!?!" Khong Guan konon berarti  "kaleng kosong". Strategi ini seperti muncul dari hasil permenungan filosofis mendalam “Kembali ke esensi!”. Kemasan plastik ini hadir untuk mengisi kembali kaleng kosong itu dengan biskuit asli, bukan sekedar harapan atau camilan hasil malak tetangga. Jadi, setiap membuka kemasan plastik itu, Anda tidak hanya menikmati biskuit, tetapi juga merayakan misi mulia melanjutkan warisan budaya: mengisi kaleng kosong dengan kejayaan Khong Guan, bukan hanya rengginang atau kenangan Lebaran yang makin pudar.  

Selasa, 31 Agustus 2021

Opo Moral iku Mural?

Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat.
Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ruang publik, karena mungkin menurut pembuatnya mewakili pesan kolektif sehingga harus diekspresikan dalam ruang publik, atau minimal ruang terbuka (yang belum tentu milik umum) yang dapat diakses publik. Jika pesan yang ingin disampaikan hanya ekspresi individu, mungkin nulisnya bukan di ruang publik, tapi di medium privat yang sangat rahasia dan diawali dengan kalimat pembuka "dear diary,". Kembali lagi, bahwa mural itu secara substansial dalah bentuk ekspresi.. tentunya ekspresi yang disampaikan oleh orang yang memiliki kapasitas untuk membuat mural... Sama seperti ekspresi yang dibuat oleh penulis berbentuk artikel, Atau ekspresi yang disampaikan oleh chef mungkin akan berbentuk makanan, atau ekspresi yang disampaikan oleh ormas berupa.. demonstrasi, mungkin.

Mari kita pisahkan karya mural dengan aksi vandal. Mural yang saya bahas disini adalah karya yang mengandung unsur pesan kolektif dan disampaikan dengan tetap memperhatikan kaidah ilustrasi visual.  

Yang namanya ekspresi dari pemikiran atau ide, tuntutan untuk menghadirkan sebuah narasi yang obyektif sepertinya tidak relevan. Kalau harus cover both side- sepertinya itu tugas wartawan ya, bukan seniman. Karena di dalam mural ada unsur individu, yang mana masing-masing individu punya perspektif yang unik dengan sudut pandang tertentu yang belum tentu didukung oleh informasi yang lengkap atau utuh.  Memang manusia memang punya dua mata, tapi seluruhnya menghadap ke depan, dan itulah yang membuat setiap manusia memiliki sudut pandang masing-masing yang unik. Sudut pandang itulah yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk olahan warna atau bentuk dua dimensi dengan komposisi tertentu untuk menarik perhatian orang lain.

Kenapa mural seringkali dibuat dengan ukuran besar, dengan warna dan bentuk-bentuk tertentu? ya karena dia sedang dalam pertarungan dalam ruang publik untuk memenangkan perhatian orang yang berada di sekitarnya. Mural harus dibuat eye catching untuk dapat menarik perhatian orang dari baliho politikus di sekitarnya, atau iklan HP yang bertebaran di pinggir jalan, atau iklan stensilan sedot WC atau gali sumur yang secara ngasal ditempel di tiang listrik. Sebetulnya sebuah mural hanya ingin para pembacanya berpikir atau merasakan "wah iyo, bener iki", atau "Biajinguk, tenanan iki asli bener", "si kae tenan oq, iso dadi pemimpin tenanan ora?". Di sisi lain, pesan yang disampaikan justru menunjukkan alternatif sudut pandang untuk menantang logika para pembacanya. Ini yang keren. Eh ternyata yang datang bukannya apresiasi, tapi malah aparat membawa cat warna netral. 

Penghapusan mural, apalagi jika ada muatan sensitif didalamnya oleh aparat tentu berbeda konteksnya dengan penghapusan mural oleh si pemilik properti yang terganggu oleh unsur visual. Ketika aparat membersihkan mural yang dianggap meresahkan, terlihat seperti ada upaya pembatasan atau pembungkaman gagasan yang timbul di tengah masyarakat, kebebasan mengeluarkan pendapat yang konon dilindungi undang-undang. Di ruang publik, siapakah yang berwenang melakukan penghakiman atas sebuah gagasan? ya seharusnya publik yang menjadi juri disini. Apakah aparat memiliki legitimasi untuk mewakili publik?. Ketika pesan yang disampaikan mengajak orang untuk melakukan kekerasan atau secara eksplisit menghina entitas tertentu, disitulah harusnya mekanisme hukum yang bekerja. Bukan dengan penghapusan sepihak oleh orang yang merasa paling berkuasa menentukan selera publik. Seharusnya mural dilawan dengan mural, itu baru pertarungan yang sebenarnya.. sama seperti pertarungan narasi-narasi di kanal sosial media atau media pers. 

Sebagaimana ide atau gagasan lain, seharusnya ide tidak dihakimi sepihak, tetapi ditantang untuk dibuktikan kebenarannya.. nah seharusnya mural-mural yang sempat heboh lalu dibersihkan oleh aparat beberapa hari ini diperlakukan. Pernah beberapa kali  terlihat di media sosial (sayangnya di luar negeri, belum di negeri kita) ada  sekelompok seniman mural yang meng-cover (kalau cover diartikan dengan "sampul" di bahasa indonesia kok sepertinya aneh ya, meskipun secara substansi maknanya sama, "menutupi") mural yang bernada kebencian terhadap etnis, atau ajakan kekerasan dengan ilustrasi lain yang membawa pesan positif. Yang namanya seni, apalagi di ranah visual, bagus tidaknya seni adalah urusan masing-masing penikmatnya.. begitu pula dengan mural. Orang bisa suka dan bisa membenci sebuah karya visual tergantung dengan seleranya, namun dalam konteks mural, orang bisa membenci gambarnya, tapi bisa juga pada saat yang sama menyukai gagasan yang disajikan.

Karena mural membawa dua muatan, yaitu unsur seni dan unsur pesan, mural yang baik menurut saya adalah ketika dua hal ini dapat dikawinkan yaitu dengan tetap memperhatikan estetika seni dan membawa pesan yang positif bagi kemanusiaan. halah. Disini saya tidak menyebutkan unsur kesopanan. Pesan yang positif itu konten, sedangkan sopan itu adalah cara. Kalau mural harus dibuat dengan sopan, niscaya kita tidak akan pernah melihat mural di ruang publik. Ngurus izin pembangunan rumah ibadah aja ribet, apalagi mau ngurus izin membuat mural yang isinya mengkritik orang yang punya kewenangan mengeluarkan izin.
Moral of the story.. mengkritik itu boleh, menghina itu jangan, dan tolong dicamkan, ngemural kuwi yo ngemoral. ora waton corat-coret neng tembok-e tanggamu. Yang tersindir dengan mural pun, jangan langsung sensi.. dipikir dulu, mungkin pesan yang disampaikan ada benarnya.

Minggu, 22 Agustus 2021

Artefak Peradaban itu bernama "Short Message Service"

Salah satu rantai ikatan yang menjadi benang merah evolusi gawai berupa handphone yang masih ada dari zaman nokia/motorola lipat antena ditarik sampai seri terbarunya aipon atau samsung adalah fitur short message system, atau lebih banyak disebut sebagai "messaging". Secanggih apapun sistem operasi atau hardware yang dimuat. Minimal, sebuah gawai dapat dikatakan sebagai "handphone" atau "smartphone", wajib punya fitur "call" dan "messaging". dua fitur ini adalah koentji! 

Dulu, pengguna handphone dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu.. "orang yang suka nelpon", dan "orang yang suka SMS". golongan pertama biasanya diisi oleh kaum bapak-bapak atau ibu-ibu mapan yang memiliki penghasilan memadai untuk dapat membeli pulsa kapanpun dibutuhkan. Golongan kedua, sebagian besar diisi anak sekolahan, mahasiswa atau orang kantoran yang beli pulsa kalau kepepet habisnya masa aktif kartu prabayar. Pelajaran yang patut kita petik dari adanya dua golongan ini adalah.. mereka tidak saling merecoki satu persatu. Tidak seperti kebanyakan kita sekarang. Golongan Pemuja Bubur diaduk selalu mencari kesalahan kaum pencinta bubur tidak diaduk, begitu pula sebaliknya. Adanya kaum "suka nelpon" dan "suka SMS" merupakan representasi nyata dari Bhinneka Tunggal Ika. Bagaimana tidak, si penyuka nelpon masih bisa berkomunikasi dengan si penyuka SMS, begitu pula si "penyuka SMS" masih bisa mengirimkan berita untuk minta ditelepon kepada si "penyuka nelepon". nyambung dua-duanya. Kan harusnya gitu kan ya! 

Ada sebuah masa dimana mampu mengetik papan tuts HP dengan cepat tanpa melihat tombol adalah sebuah kebanggan tersendiri, juga kemampuan meringkas kata tanpa mengurangi esensi pesan dapat memberikan selisih saldo pulsa yang sangat signifikan. Namun disisi lain, ada masanya orang bisa menjadi sangat labil dalam menggunakan huruf kapital dan angka dalam sebuah kalimat demi mengejar predikat "imut", "lucu", dan sebagainya, harus diakui sebagai sisi kelam dari adanya teknologi bernama Short message Service. Sebuah embrio awal terhadap golongan yang saat ini kita sebut sebagai "alay".

Seperti halnya insting untuk bertahan hidup, keterbatasan fitur dan biaya layanan SMS justru memunculkan keratifitas luar biasa para penggunanya. Dulu, umumnya saldo pulsa 5000 perak hanya bisa dipakai untuk mengirimkan 14 SMS (dengan asumsi tarif normal SMS adalah 350 perak per pengiriman). Bayangkan bagaimana sulitnya orang-orang di masa itu harus sangat jeli memilih penggunaan kata atau bagaimana orang-orang berkreasi menciptakan singkatan-singkatan kata yang mungkin hanya dirinya yang paham - hanya untuk menghemat satu atau dua pengiriman SMS. Sebuah biaya yang sangat mahal bagi orang-orang yang sedang PDKT lintas operator... Sebuah pekerjaan rumah yang maha berat bagi kementerian telekomunikasi pada masa itu.

Pada masanya, trafik SMS pernah menjadi salahsatu tolak ukur perhitungan kesuksesan operator.. atau minimal menjadi alasan orang menilai kekuatan jaringan operator telekomunikasi. Jika anda pernah mengalami gangguan pengiriman SMS pada saat libur lebaran, artinya anda tahu yang saya maksud. Pada era jayanya SMS, orang berlomba berkreasi untuk membuat sms terlucu, terunik untuk dapat dikirimkan ke sanak saudara-handai taulan-gebetan-pacar saat lebaran. Hangat sekali hubungan antar manusia saat itu, dimana kita masih memiliki keinginan untuk sedikit menyenangkan orang lain melalui pesan yang kita kirimkan.. meskipun bukan ide orisinil kita. ya kan?!. Enaknya berkirim pesan melalui SMS adalah, mau copy paste atau forward SMS, tidak ketahuan sodara-sodara. Perlu diteliti lebih lanjut, apakah pesan-pesan lucu di masa perpesanan SMS itulah yang saat ini bermetamorfosa menjadi joke bapack-bapack di grup WA komplek.

Kelebihan masa SMS adalah... HOAX relatif sulit untuk tersebar.. lha gimana, sekali kirim 350 perak bosss! boro boro mau ngirim hoax.. mau nanyain pacar sudah makan apa belom, sudah tidur apa belom saja harus bermodal, mau ngabarin ke orang tua kalo hari ini pulang malam aja harus keluar pulsa. Paling yang agak rame saat itu adalah SMS berantai! duh.. kalau gak melanjutkan SMS berantai, kena kutuk jadi batu ulegan sambel.. kalau melanjutkan SMS berantai kok ya nyedot pulsa. Anda sempat mengalami masa-masa ini? Saat itu, ada kaitan yang erat antara emosi dengan pesan yang dikirimkan melalui SMS.. Ada masanya ketika menunggu sms balasan dari gebetan seperti menunggu cairnya Tunjangan Hari Raya.. atau menunggu datangnya barang yang dibeli dari olshop. Ada juga yang sampai ngambek putus asa ketika 125 pesan SMS-nya tidak dibalas sama sekali oleh si gebetan. 

Sebetulnya dulu sudah ada alternatif pengiriman pesan yang lebih murah dari SMS, seperti MiRC atau Yahoo Messenger. tapi mereka bukanlah lawan yang sepadan bagi SMS sampai mulai maraknya smartphone. Saat itu menenteng-nenteng komputer jangkrik kesana kemari sepertinya agak kurang.. apa ya.. handy mungkin ya.. 

Saking Hype-nya SMS di tahun 2000-an, sampai ada lagu dangdut bertema SMS, dan lagunya pun ikut booming! mungkin karena sangat relatable dengan kondisi masyarakat ya.. bahwasanya perpesanan melalui SMS pun sudah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi umat manusia..seperti makan tidur beol, mungkin. Cari deh, sepertinya du yutup masih ada videonya. Mungkin lagu ini adalah tonggak awal munculnya fenomena dangdutisasi kejadian yang viral secara digital yang semakin ramai akhir-akhir ini.

Apa di gawai anda masih terinstall aplikasi messaging? coba sesekali tengoklah ada apa saja di dalamnya, apakah masih ada gairah yang sama seperti dulu? sejak beberapa tahun ini, isi inbox aplikasi messaging di HP saya bisa dipilah menjadi beberapa kategori, antara lain:

1. Penawaran iklan kredit tanpa agunan, yang mana saya sama sekali tidak tertarik. Coba deh kalau yang ditawarkan adalah kredit tanpa angsuran. 

2. Pesan penipuan menang undian. yaelah bung.. saya sudah sangat lama sekali tidak mengirimkan kartu pos atau surat berisi potongan label botol minuman untuk mengikuti undian, mana mungkin saya menang undian.

3. Penawaran deposit judi onlen. Astagaaaa.. dosa ini sih! mereka belum pernah kena selepet senar gitarnya Bang Haji Oma apa yak?!

4. Penawaran program dari operator telekomunikasi. Ini sama sekali gak berguna untuk saya, tapi ya gimana, malang tidak dapat diraih, untung tidak dapat dihindari.

5. Pemberitahuan jatuh tempo kredit dari bank.. Yah pasrah lah ya tiap bulan dikirimi sms begini dari pihak yang sudah membantu secara finansial. SMS itu sebenarnya adalah wujud bahwa mereka sebenarnya sangat perhatian, terhadap uangnya - yang kita pinjam - agar jangan terlambat dikembalikan!

6. Pesan penipuan yang isinya menyuruh saya untuk segera mentransfer ke nomor rekening tertentu.. yang kalau dilaporkan ke OJK pun mereka akan sangat sulit diusut.

7. Pesan layanan masyarakat dari instansi pemerintah.. SIAP LAKSANAKAN! MAJU JALAN!

Mempertahankan SMS dari perkembangan teknologi perpesanan adalah hal yang sangat sulit.. sama sulitnya seperti perjuangan abang-abang ojek pangkalan yang harus berhadapan dengan ojek online. Kalaupun harus secara rutin menggunakan layanan SMS, harus ada kondisi spesial tertentu.. misalkan, belum isi paket data, atau anda sedang berada di lokasi tertentu yang tidak ada jangkauan data. Pastinya SMS tidak akan dapat memberikan kecepatan dan kemudahan yang sama jika dibandingkan dengan aplikasi yang ada sekarang. Masa dimana orang bisa mengobrol melalui banyak instrumen. bahkan orang bisa saling berkirim pesan tanpa melalui aplikasi spesifik perpesanan. Edannya lagi, Sekarang di aplikasi ojek onlen pun orang bisa menjalin pertemanan dan mengobrol secara gayeng dan guyub. Biarlah layanan SMS menjadi penanda penting perkembangan peradaban manusia. dan mari beranjak tanpa meninggalkan esensi dari pesan itu sendiri.. "menyampaikan rasa"

Selasa, 27 April 2021

1.000 Kunang-Kunang di Manhattan: Ada Apa dengan Marno? - Sebuah Impresi

Bagaimana caranya menghadirkan kunang-kunang di hutan beton belantara New York sana? Hanya Marno yang bisa melakukannya. Cerita ini pertama kali dirilis oleh Pak Umar Kayam tahun 1970-an, dan baru awal 2021 saya sempat membaca karya ini. Ibarat lukisan, cerita ini mungkin beraliran impresionisme, dimana setiap pembaca memiliki ruang yang sangat luas untuk menginterpretasikan konflik yang terjadi. Sejak membaca kalimat pertama dalam cerita pendek ini, saya kesulitan untuk memahami plot apa yang ingin disampaikan Pak Umar Kayam dalam ceritanya. Mungkin jika pembaca kurang jeli, cerita ini seperti tidak ada ujung pangkalnya, hanya menghadirkan percakapan dua orang dewasa yang ringan. Tapi ternyata disitulah keajaiban penulis dapat menghadirkan konflik yang dialami oleh Jane dan Marno.

Sederhana sekali, cerita ini menyajikan percakapan dua orang dewasa berbeda jenis kelamin yaitu Marno dan Jane di apartemen milik Jane di tengah Kecamatan Manhattan, Kabupaten New York. Bayangan saya, peran Jane ini sangat cocok digambarkan sebagai Emma Watson. Nah untuk peran Marno ini, saya agak kebingungan. Memvisualisasikan Marno sebagai sebuah persona agak rumit mengingat di dalam cerita yang sependek ini, Pak Umar Kayam memasukkan begitu banyak kepribadian didalamnya. Pertanyaan saya Pak, kenapa harus namanya Marno? Di satu sisi, Marno mewakili gambaran seorang pria yang modern namun di sisi lain juga terlihat seseorang yang masih memegang nilai-nilai ketimuran, yang mungkin meskipun tidak nampak secara teguh dianutnya. Cuek, tapi gamang.. atau Modern, tapi naif. Satu sisi Nicholas Saputra, tapi sebagian juga Dodit Mulyanto (serius, saya tidak tau kenapa tia-tiba muncul nama Dodit).

Pak Kayam sangat lihai menyembunyikan plot besar dalam sebuah cerita ringkas. Bagaimana tiba-tiba di tengah New York sana Marno seolah tiba-tiba melihat kunang-kunang yang mungkin dulu sering ia lihat di persawahan pinggir kampungnya, tidak jauh dari Prambanan sana. Kemudian ada adegan Jane tiba-tiba teringat suaminya-yang mantan suaminya (apa anda bingung? sama!) saat sedang menikmati minuman bersama Marno di apartemen. Menurut saya, kenapa Jane sampai seperti itu adalah Pak Kayam ingin menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi rapuh, dia memerlukan Marno untuk bersandar dari masalahnya. Marno yang versi dodit- tentu saja seharusnya tidak melewatkan kesempatan itu ketika ditawari menginap di apartemen Jane, kapan lagi!. Di saat yang sama, Marno yang versi Nicholas Saputra dengan tegas menolak tawaran tersebut dan memilih pulang ke kontrakannya tanpa membawa kado pemberian Jane. Mungkin saat itu Marno teringat masa kecilnya ketika dulu di surau kampung diingatkan untuk tidak menuruti hawa nafsunya. Sebuah clue lain yang disisipkan Pak Kayam untuk menunjukkan kenaifan Marno adalah dia meminum scotch dengan banyak tambahan air dan es. Membedakan vermouth dengan bourbon saja dia tidak yakin :)

Kerapuhan Jane di cerita ini terlihat saat dia berusaha untuk membuat suasana lebih cair. Dia ingin mendapatkan respon yang hangat dari Marno, namun sepertinya Jane tidak tahu bahwa Marno (baik versi dodit atau versi Nicholas Saputra) sedang memiliki kekusutan pikirannya sendiri. Marno tidak banyak bicara di potongan adegan tersebut, dia hanya menimpali Jane sekenanya sambil (mungkin) menghitung berapa banyak kunang-kunang yang ia lihat (atau ia ingat). 

Di beberapa percakapan terlihat bahwa Jane berusaha membandingkan Marno dengan mantan suami-suaminya, seharusnya Marno marah besar jika ternyata hubungan mereka bukanlah sebuah pertemanan biasa. Tapi Marno tetap terlihat, apa ya.. cuek mungkin ya.. atau sedang dalam keruwetannya sendiri. Ini juga yang sepertinya dikaburkan oleh penulis, Pak Kayam memberikan ruang dan waktu bagi para pembacanya untuk menginterpretasikan hubungan antara Marno dan Jane. Bisa jadi interpretasi anda dan saya berbeda. Menurut saya, Marno dari awal paham bahwa posisinya bukanlah prioritas di mata Jane, Bahwasanya Jane masih ada semacam unfinished business dengan suami-mantan suaminya. Dan ternyata pun Marno masih terikat dengan istrinya di kampung. Kemungkinan Marno, setelah dihadapkan dengan ketidak pastian hubungannya dengan Jane tiba-tiba merefleksikan kondisinya sekarang. Kunang-kunang yang dilihat Marno memunculkan bayangan istrinya di kampung, mengingatkan value-value yang pernah diajarkan di masa lalunya dan bagaimana dia telah mengkhianati semuanya pada saat yang bersamaan. Disinilah Jane yang awalnya merasa sebagai partner in crime untuk Marno berubah menjadi korban sehingga Jane harus tertidur sambil menangis (meskipun) setelah meminum beberapa butir obat tidur di akhir cerita.Duh Mas Marnoooo.. kok ya sampeyan menyulitkan diri sendiri to ya, mbok ya menyulitkan orang lain saja

Sampai di sini anda sudah bisa menangkap kira-kira konflik apa yang terjadi di antara Marno dan Jane? Hebatnya cerita ini, penulis sama sekali tidak menyusun narasi yang secara eksplisit menjelaskan pertentangan-pertentangan yang terjadi antara Marno dan Jane. Pesan saya untuk Jane adalah, Mbak, daripada ngeyel mengatakan bahwa bulan berwarna ungu, mending mbaknya sekali-sekali main ke kampungnya Marno di timur Candi Prambanan. Cobalah lihat apa warna Bulan kalau dilihat dari sana sambil ngerasain gimana rasanya ditapuk sandal jepit oleh istri Marno.

Satu catatan saya di akhir tulisan, melalui drama pendek ini, Pak Umar Kayam telah sukses mengaduk-aduk imajinasi pembacanya. Cerita sederhana ini berhasil membuat pembacanya berpikir keras, apa yang terjadi diantara kedua tokohnya, konflik seperti apa yang mereka hadapi dan konklusi bagaimana di akhir cerita. Pembaca dibiarkan mengira-ngira sendiri. Bayangkan bila Pak Umar Kayam menulis cerita horor sodara-sodara.. kengerian seperti apa yang akan menghanyuti pikiran pembacanya. 

Untuk Pak Umar Kayam, maturnuwun sanget Pak, suwargi langgeng.

Minggu, 25 April 2021

Ode untuk Sate Ayam di Seluruh Jagad Raya

" Kik, nek awakmu gelem potong rambut, taktukokke sate ayam. Oke?" 

Begitulah cara almarhum Papa membujuk anak lanangnya agar mau potong rambut. Masih  ingat dulu harganya hanya seribu rupiah per porsi berisi sepuluh tusuk sate (jangan bertanya berapa harganya sekarang, bikin sedih). Sebuah kalimat yang pada akhirnya membuat saya rela dan iklas serta berani menghadapi ketakutan terbesar saya, yaitu potong rambut. Dari dulu saya selalu enggan untuk sekedar berkunjung secara rutin menemui gunting dan hair clipper beserta seluruh sanak kadangnya. Dan mohon dibayangkan bahwa hair clipper yang digunakan pada saat itu bukan jenis electric sodara-sodara, Manual! yang harus dioperasikan seperti gunting. salah gerak sedikit, dipastikan potongannya akan miring, hasil cukuran yang tidak rata adalah risiko paling minimal, lebih parah lagi, kepala bisa baret-baret yang berpotensi menimbulkan pitak permanen. Pastinya bukan karena phobia, lebih ke urusan psikologis sebenarnya, tepatnya trauma. Bayangkan saat itu anak kecil dengan bentuk muka membulat dengan rambut lemas jatuh kebawah yang baru saja keluar dari tukang potong rambut. Poni yang jatuh lurus sampai batas alis akan semakin mempertegas kebulatan bentuk muka saya saat itu. Penampilan baru itulah hal yang selalu membuat saya enggan sowan ke tukang cukur secara rutin. Gampangnya, memiliki rambut gondrong acak-acakan adalah zona nyaman saya saat itu. sekarang juga sih.

Hanya sate ayam lah yang saat itu mampu memberikan keberanian dan ketabahan saat harus keluar dari zona nyaman rambut gondrong ndezzo. Sampai saat ini keengganan itu masih ada. Umumnya Hanya satu kali dalam satu tahun saya pergi ke tukang cukur, paling banyak dua kali dalam setahun. Sampai sekarang. Kalau dulu ketika sekolah, biasanya hanya menyambangi tukang cukur ketika sudah ditegur guru. Dulu saat SMP sampai pernah dipanggil ke ruang Guru hanya untuk dihadapkan ke cermin dan dipakaikan bando oleh guru kesenian. Bayangkan, guru kesenian yang biasanya lebih paham bahwa seniman seperti saya ini memerlukan tingkat kebebasan berekspresi lebih luas pun sampai jengah melihat rambut saya yang sering awut-awutan. Seniman ini pak, seniman loh pak. Namun sayangnya mulai saat itu peran sate ayam mulai menghilang, utamanya karena Almarhum Papa sudah jarang niliki anaknya yang nekat minta sekolah terpisah dari bapak-ibuknya.

Hal itulah yang sedari awal membuat saya merasa sangat dekat dengan panganan bernama sate ayam ini. Lebih spesifik sate ayam berbumbu kacang dan kecap manis dengan taburan bawang merah mentah. Maaf saya harus agak detail kali ini, agar para pembaca dapat memiliki gambaran yang jelas, karena mungkin di tempat lain ada makanan bernama sate ayam tapi dengan bumbu atau cara masak yang berbeda. ya mana tahu kan ya.. Mungkin di tempat lain ada definisi yang berbeda tentang sate ayam. Sate ayam madura atau sate ayam ponorogo, atau sate ayam manapun tidak masalah bagi saya, sepanjang makanan itu berupa daging ayam yang ditusuk potongan bambu, dibakar sampai matang dan disajikan dengan bumbu campuran kacang, kemiri, daun jeruk, gula merah dan kecap manis. Menurut saya, tidak ada sate ayam yang tidak enak. Yang membedakan satu sate ayam dengan yang lain adalah apakah porsi yang disajikan memuaskan atau tidak. Irisan dagingnya tebal atau tipis, bumbunya melimpah atau tidak. Tapi kembali lagi, semuanya enak (menurut saya loh ya).

Sampai saat ini, sate ayam masih memiliki posisi magisnya tersendiri yang membuatnya menjadi salah satu makanan favorit saya, selain nasi rendang kumplit (plus telur dadar atau perkedel kentang) dan nasi goreng (apapun jenisnya). Jika menghampiri warung yang salah satu menunya sate ayam, saya wajib memilih sate ayam. Jika menemui warung masakan padang, menu yang wajib saya pesan adalah nasi rendang kumplit. Begitu pula kalau ke restoran chinese food atau tukang nasi goreng keliling, menu yang pasti saya pesan adalah nasi goreng! Tidak perlu berpikir panjang atau bingung memilih. Lalu bagaimana jika di suatu saat, suatu tempat ada restoran yang menjual tiga menu di atas? Biasanya tidak sulit memutuskan memilih menu apa, yang jelas menu sate ayam yang dijual di warung nasi goreng tidak lebih enak dari menu nasi gorengnya. Begitu pula nasi goreng yang dijual di Restoran Minang, pasti lebih enak rendangnya. Apalagi kalau ada warung sate madura jual rendang.. sudahlah pilih sate saja pastinya.

Menikmati seporsi sate, menurut saya tidak perlu didramatisir seperti para pemuja kopi yang merasa perlu menyesap tiap kepulan uap panasnya sebelum mengecap kopi itu sendiri. Menikmati seporsi sate cukup sewajarnya saja.. campurkan bumbu sate ke nasi panas, semakin panas nasinya, semakin sempurnalah fusion yang terjadi, seperti reaksi kimia yang memerlukan kondisi suhu tertentu untuk terjadi. Tidak perlu menunggu waktu lama, nasi dan bumbu kacang tidak akan pernah kembali sama seperti sebelumnya, Irreversible reaction lah bahasanya sainsnya. Menikmati sate ayam memang harusnya tidak terlepas dari bumbu kacang dan nasi panas/lontong. Tritunggal yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Makan sate pakai bumbu kacang tanpa nasi/lontong.. gak kenyang, Makan nasi/lontong tanpa sate ayam komplit bumbu kacang, namanya bukan makan sate sodara-sodara, ngirit amat sih. Makan bumbu kacang tanpa daging sate dan nasi... sepertinya anda sedang di warung gado-gado, tukang sate letaknya masih jauh.

Penggemar sate ayam secara umum memiliki kedewasaan yang lebih baik daripada penggemar bubur yang ribut-ribut saling menegasi apakah lebih baik diaduk atau tidak. Penggemar sate tidak mempermasalahkan, mau satenya dimakan langsung dari tusuknya atau dipreteli dari tusukan kemudian disendok ke mulut. Kami sangat memahami bahwa pilihan itu adalah hak murni masing-masing personal. Tidak ada yang perlu diperdebatkan atau diluruskan. Urutan memakan seporsi sate yang paling nikmat adalah pertama-tama makan nasi dan bumbu sate terlebih dahulu, agar sensasi gurih kacang dan manisnya kecap memberikan pemanasan yang memadai untuk rongga mulut dan lidah. Selanjutnya, ketika tusukan daging ayam tertancap di gigi, rasa-rasanya sensor perasa di lidah juga membuka kantor cabang di gigi. Baru digigit, sudah terasa enaknya. Tugas kita hanya memasukkan irisan daging dan bumbu kacang ke mulut, selebihnya mereka yang akan memainkan orkestrasi megah di dalam mulut. Jika anda memburu sisa bumbu yang menempel di kertas pembungkus sate sampai bersih, anda adalah saudara saya!

Berbeda dari nasi rendang dan nasi goreng, saya perlu pertimbangan matang untuk memutuskan membeli sate ayam. Meskipun salah satu makanan favorit, belum tentu dalam satu bulan saya menikmati sate ayam ini. Bukan (hanya) karena harganya agak lumayan mahal, bagi saya menikmati sate ayam adalah sebuah proses penziarahan terhadap proses lelaku hidup yang saya alami. Setiap tusuk sate ayam yang masuk ke mulut seolah perjamuan yang mengantarkan kenangan-kenangan masa kecil, juga upaya untuk menghadirkan "self rewarding" atas keputusan besar yang baru saya alami saat itu (baca:potong rambut). Jadi, menurut saya saat ini, untuk dapat selalu menghadirkan sensasi yang sama atas nikmatnya sate ayam, makanan ini tidak boleh terlalu sering saya nikmati, harus ada momentum yang pas dan suasana yang tepat. Hal ini penting karena saya harus menghidupi ritual makan sate agar nilai-nilai yang saya rasakan tidak hilang begitu saja karena frekuensi yang berlebihan. 

Menurut saya, begitulah sate ayam.. se-simpel itu dan pada saat yang sama se-sentimental itu. Ah jadi pengen makan sate ayam kan..

Reflecting modernity through a convex glass in a church

Last Sunday morning, while attending weekly mass at kodaira's local catholic church, i noticed something strange. I have been here for s...