Hari jumat kemarin saya mencoba ikut acara komunitas baru. Bukannnn, bukan komunitas rahasia yang membahas teori konspirasi bahwa bumi berbentuk segi tiga sama sisi. Bukan juga komunitas intelektual yang rutin mendiskusikan kemungkinan cabai dengan sebagai alternatif pemanis pengganti tebu. Lebih jelasnya ini adalah komunitas menggambar. Iya, aktivitas mungkin hanya menarik garis di kertas, membuat bentuk kurva dengan pensil, menghapus goresan pensil dengan penghapus, mengoles-oles warna dengan kuas. Mungkin justru sebagian besar kegiatan di aktivitas ini adalah memandang dengan tatapan kosong ke segala penjuru untuk memikirkan "abis ini kuasnya belok ke kiri apa kanan ya".
Mungkin memang nasib mujur peserta baru, tiba-tiba menang doorprize di acara itu. Paulo Coelho dalam The Alchemist menyebut fenomena kemujuran ini sebagai "beginner's luck". Mungkin ini bagian dari mekanisme semesta untuk memberikan dukungan moral bagi seseorang yang menekuni hal baru agar sedikit lebih tekun sebelum benar-benar menyesal terjerumus lebih dalam. Ibaratnya, beginner's luck ini adalah semacam teaser, sayangnya bukan paket berlangganan gratis selamanya. Menariknya, doorprize yang diberikan adalah assorted biskuit Khong Guan (KG), dalam kemasan sachet 300 gram. Bukan hanya soal menang hadiah, ini seperti kode dari alam semesta , “Selamat datang di dunia baru sambil menikmati biskuit legenda!”. Dari situ terpikir bahwa biskuit ini bukan cuma camilan, tapi juga cerita besar tentang brand yang menjadi raja di hati orang Indonesia, apalagi saat Lebaran.
Kita semua sangat paham bahwa biskuit KG sudah memiliki dominasinya sendiri di dunia per-biskuit-an. Posisinya mungkin bukan sebagai biskuit pertama yang menjadi referensi orang ketika ingin kudapan secara random, bukan pula sebagai snack yang digilai anak-anak pada umumnya. Saya jarang - atau - tidak pernah melihat di supermarket ada anak yang nangis tantrum minta dibelikan biskuit ini. Tapi brand ini menjadi top of mind saat lebaran. Biskuit KG mungkin sudah menjadi standar representatif apakah sebuah rumah sudah siap merayakan lebaran atau belum. Disini kita melihat bahwa brand ini kuat secara holistik. bukan hanya produknya yang punya market perception bagus, bahkan packagingnya urun menyumbang engagement luar biasa dengan konsumen. Sepertinya belum ada brand selain KG yang visualnya viral jadi meme populer, dan jadi bahan komedi. Satu lagi, mungkin hanya biskuit ini yang membuat kemasan dengan bahan berstandar bodi mobil atau pesawat (anda pasti pernah mendengar istilah "pesawat kaleng", atau "mobil berbodi kaleng"). Bayangkan di universe lain, elon musk akan menelepon ke Indonesia sebelum memproduksi pesawat luar angkasanya "Bro, ready stock kaleng Khong Guan berapa?"
Dengan kedigdayaan sebesar itu, KG bisa saja tinggal duduk di singgasana menikmati segala kemasyurannya. Mau apa lagi, market share sudah ada, awareness sudah tinggi, pola demand sudah terbentuk, engagement sudah di puncak-puncaknya. Tapi meskipun sudah duduk manis di singgasana, KG tahu biskuit kaleng mereka mulai terasa mahal buat sebagian orang. Inflasi tahunan, ongkos produksi naik, daya beli masyarakat melempem—klasik. Mereka tidak mau pasar setia kabur bukan karena mereka sudah tidak menginginkan produknya. Dari situ lahirlah inovasi cerdas: biskuit KG dalam kemasan plastik 300 gram! Bukan spin-off biskuit rasa matcha unicorn atau rasa spicy marshmellow, karena prinsip mereka jelas: “Kalau nggak rusak, buat apa diperbaiki?”. Dengan kondisi perekonomian seruwet ini, mungkin orang akan membeli biskuit kaleng hanya menjelang momen lebaran. Tentu saja hal ini berat bagi perusahaan, cashflow tidak merata, revenue tidak stabil. "Bagaimana membuat orang bisa lebih mudah membeli produk ini?"adalah pertanyaan utama yang ingin dijawab dengan hadirnya kemasan plastik 300 gram.
Melalui kemasan plastik ini Khong Guan ingin menegaskan, “Nggak perlu nunggu lebaran buat beli biskuit lebaran!”. Biskuit ini umumnya dikenal sebagai occasional snack, yaitu kudapan yang dikonsumsi pada kesempatan tertentu, contohnya, ya tadi, lebaran. Dengan kemasan 300 gram yang secara ukuran tidak terlalu kecil, pada saat yang sama juga tidak terlalu besar, Khong Guan ingin masuk ke ranah "casual snack", yaitu snack yang bisa dinikmati kapan saja. Kemasan ini punya ukuran yang sangat pas. Bukan sekotak kecil yang membuat konsumen merasa "yah.. udah abis aja, baru juga pemanasan". Ukuran ini pun tidak terlalu besar sampai pembeli harus berpikir menyiapkan saldo tertentu dan menunda beberapa pengeluaran darurat hanya untuk membelinya. Ukuran 300 gram ini seperti membuat statement yang tegas “Aku akan cukup buat nemenin kamu nonton drakor semaleman tanpa bikin kamu ngenes liat sisa duit di dompet. Aku juga bisa nemenin kamu ngerjain tugas tanpa merasa dikerjain.” Ini adalah ukuran yang ramah dompet, ramah perut, dan ramah kaleng lawas yang sudah nunggu bertahun-tahun buat diisi ulang.
Kenapa harus plastik lembaran, bukan kemasan plastik box? Disini terlihat Khong Guan sekali lagi menggunakan kartu as-nya secara cerdik. Kita tahu seberapa awet kemasan kaleng biskuit ini, seberapa monumental engagement yang dihasilkannya, dan mereka pasti paham se-ngirit apa masyarakat kita. Mereka paham bahwa mungkin 3 dari 5 rumah tangga di Indonesia pernah membeli produk Biskuit KG kemasan kaleng (mungkin beli tahun lalu, tiga tahun lalu, atau mungkin pernah beli saat periode pemerintahan sebelumnya, dan bisa jadi 70% diantara pembeli itu masih menyimpan kaleng lawas-nya. Sepertinya premis yang ingin diangkat melalui produk kemasan plastik ini adalah "daripada diisi rengginang, mending diisi biskuit lagi?!?!" Khong Guan konon berarti "kaleng kosong". Strategi ini seperti muncul dari hasil permenungan filosofis mendalam “Kembali ke esensi!”. Kemasan plastik ini hadir untuk mengisi kembali kaleng kosong itu dengan biskuit asli, bukan sekedar harapan atau camilan hasil malak tetangga. Jadi, setiap membuka kemasan plastik itu, Anda tidak hanya menikmati biskuit, tetapi juga merayakan misi mulia melanjutkan warisan budaya: mengisi kaleng kosong dengan kejayaan Khong Guan, bukan hanya rengginang atau kenangan Lebaran yang makin pudar.