otakkananluki
Sebuah catatan acak tentang pemikiran yang abstrak. selamat menikmati...
Selasa, 31 Agustus 2021
Opo Moral iku Mural?
Minggu, 22 Agustus 2021
Artefak Peradaban itu bernama "Short Message Service"
Salah satu rantai ikatan yang menjadi benang merah evolusi gawai berupa handphone yang masih ada dari zaman nokia/motorola lipat antena ditarik sampai seri terbarunya aipon atau samsung adalah fitur short message system, atau lebih banyak disebut sebagai "messaging". Secanggih apapun sistem operasi atau hardware yang dimuat. Minimal, sebuah gawai dapat dikatakan sebagai "handphone" atau "smartphone", wajib punya fitur "call" dan "messaging". dua fitur ini adalah koentji!
Dulu, pengguna handphone dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu.. "orang yang suka nelpon", dan "orang yang suka SMS". golongan pertama biasanya diisi oleh kaum bapak-bapak atau ibu-ibu mapan yang memiliki penghasilan memadai untuk dapat membeli pulsa kapanpun dibutuhkan. Golongan kedua, sebagian besar diisi anak sekolahan, mahasiswa atau orang kantoran yang beli pulsa kalau kepepet habisnya masa aktif kartu prabayar. Pelajaran yang patut kita petik dari adanya dua golongan ini adalah.. mereka tidak saling merecoki satu persatu. Tidak seperti kebanyakan kita sekarang. Golongan Pemuja Bubur diaduk selalu mencari kesalahan kaum pencinta bubur tidak diaduk, begitu pula sebaliknya. Adanya kaum "suka nelpon" dan "suka SMS" merupakan representasi nyata dari Bhinneka Tunggal Ika. Bagaimana tidak, si penyuka nelpon masih bisa berkomunikasi dengan si penyuka SMS, begitu pula si "penyuka SMS" masih bisa mengirimkan berita untuk minta ditelepon kepada si "penyuka nelepon". nyambung dua-duanya. Kan harusnya gitu kan ya!
Ada sebuah masa dimana mampu mengetik papan tuts HP dengan cepat tanpa melihat tombol adalah sebuah kebanggan tersendiri, juga kemampuan meringkas kata tanpa mengurangi esensi pesan dapat memberikan selisih saldo pulsa yang sangat signifikan. Namun disisi lain, ada masanya orang bisa menjadi sangat labil dalam menggunakan huruf kapital dan angka dalam sebuah kalimat demi mengejar predikat "imut", "lucu", dan sebagainya, harus diakui sebagai sisi kelam dari adanya teknologi bernama Short message Service. Sebuah embrio awal terhadap golongan yang saat ini kita sebut sebagai "alay".
Seperti halnya insting untuk bertahan hidup, keterbatasan fitur dan biaya layanan SMS justru memunculkan keratifitas luar biasa para penggunanya. Dulu, umumnya saldo pulsa 5000 perak hanya bisa dipakai untuk mengirimkan 14 SMS (dengan asumsi tarif normal SMS adalah 350 perak per pengiriman). Bayangkan bagaimana sulitnya orang-orang di masa itu harus sangat jeli memilih penggunaan kata atau bagaimana orang-orang berkreasi menciptakan singkatan-singkatan kata yang mungkin hanya dirinya yang paham - hanya untuk menghemat satu atau dua pengiriman SMS. Sebuah biaya yang sangat mahal bagi orang-orang yang sedang PDKT lintas operator... Sebuah pekerjaan rumah yang maha berat bagi kementerian telekomunikasi pada masa itu.
Pada masanya, trafik SMS pernah menjadi salahsatu tolak ukur perhitungan kesuksesan operator.. atau minimal menjadi alasan orang menilai kekuatan jaringan operator telekomunikasi. Jika anda pernah mengalami gangguan pengiriman SMS pada saat libur lebaran, artinya anda tahu yang saya maksud. Pada era jayanya SMS, orang berlomba berkreasi untuk membuat sms terlucu, terunik untuk dapat dikirimkan ke sanak saudara-handai taulan-gebetan-pacar saat lebaran. Hangat sekali hubungan antar manusia saat itu, dimana kita masih memiliki keinginan untuk sedikit menyenangkan orang lain melalui pesan yang kita kirimkan.. meskipun bukan ide orisinil kita. ya kan?!. Enaknya berkirim pesan melalui SMS adalah, mau copy paste atau forward SMS, tidak ketahuan sodara-sodara. Perlu diteliti lebih lanjut, apakah pesan-pesan lucu di masa perpesanan SMS itulah yang saat ini bermetamorfosa menjadi joke bapack-bapack di grup WA komplek.
Kelebihan masa SMS adalah... HOAX relatif sulit untuk tersebar.. lha gimana, sekali kirim 350 perak bosss! boro boro mau ngirim hoax.. mau nanyain pacar sudah makan apa belom, sudah tidur apa belom saja harus bermodal, mau ngabarin ke orang tua kalo hari ini pulang malam aja harus keluar pulsa. Paling yang agak rame saat itu adalah SMS berantai! duh.. kalau gak melanjutkan SMS berantai, kena kutuk jadi batu ulegan sambel.. kalau melanjutkan SMS berantai kok ya nyedot pulsa. Anda sempat mengalami masa-masa ini? Saat itu, ada kaitan yang erat antara emosi dengan pesan yang dikirimkan melalui SMS.. Ada masanya ketika menunggu sms balasan dari gebetan seperti menunggu cairnya Tunjangan Hari Raya.. atau menunggu datangnya barang yang dibeli dari olshop. Ada juga yang sampai ngambek putus asa ketika 125 pesan SMS-nya tidak dibalas sama sekali oleh si gebetan.
Sebetulnya dulu sudah ada alternatif pengiriman pesan yang lebih murah dari SMS, seperti MiRC atau Yahoo Messenger. tapi mereka bukanlah lawan yang sepadan bagi SMS sampai mulai maraknya smartphone. Saat itu menenteng-nenteng komputer jangkrik kesana kemari sepertinya agak kurang.. apa ya.. handy mungkin ya..
Saking Hype-nya SMS di tahun 2000-an, sampai ada lagu dangdut bertema SMS, dan lagunya pun ikut booming! mungkin karena sangat relatable dengan kondisi masyarakat ya.. bahwasanya perpesanan melalui SMS pun sudah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi umat manusia..seperti makan tidur beol, mungkin. Cari deh, sepertinya du yutup masih ada videonya. Mungkin lagu ini adalah tonggak awal munculnya fenomena dangdutisasi kejadian yang viral secara digital yang semakin ramai akhir-akhir ini.
Apa di gawai anda masih terinstall aplikasi messaging? coba sesekali tengoklah ada apa saja di dalamnya, apakah masih ada gairah yang sama seperti dulu? sejak beberapa tahun ini, isi inbox aplikasi messaging di HP saya bisa dipilah menjadi beberapa kategori, antara lain:
1. Penawaran iklan kredit tanpa agunan, yang mana saya sama sekali tidak tertarik. Coba deh kalau yang ditawarkan adalah kredit tanpa angsuran.
2. Pesan penipuan menang undian. yaelah bung.. saya sudah sangat lama sekali tidak mengirimkan kartu pos atau surat berisi potongan label botol minuman untuk mengikuti undian, mana mungkin saya menang undian.
3. Penawaran deposit judi onlen. Astagaaaa.. dosa ini sih! mereka belum pernah kena selepet senar gitarnya Bang Haji Oma apa yak?!
4. Penawaran program dari operator telekomunikasi. Ini sama sekali gak berguna untuk saya, tapi ya gimana, malang tidak dapat diraih, untung tidak dapat dihindari.
5. Pemberitahuan jatuh tempo kredit dari bank.. Yah pasrah lah ya tiap bulan dikirimi sms begini dari pihak yang sudah membantu secara finansial. SMS itu sebenarnya adalah wujud bahwa mereka sebenarnya sangat perhatian, terhadap uangnya - yang kita pinjam - agar jangan terlambat dikembalikan!
6. Pesan penipuan yang isinya menyuruh saya untuk segera mentransfer ke nomor rekening tertentu.. yang kalau dilaporkan ke OJK pun mereka akan sangat sulit diusut.
7. Pesan layanan masyarakat dari instansi pemerintah.. SIAP LAKSANAKAN! MAJU JALAN!
Mempertahankan SMS dari perkembangan teknologi perpesanan adalah hal yang sangat sulit.. sama sulitnya seperti perjuangan abang-abang ojek pangkalan yang harus berhadapan dengan ojek online. Kalaupun harus secara rutin menggunakan layanan SMS, harus ada kondisi spesial tertentu.. misalkan, belum isi paket data, atau anda sedang berada di lokasi tertentu yang tidak ada jangkauan data. Pastinya SMS tidak akan dapat memberikan kecepatan dan kemudahan yang sama jika dibandingkan dengan aplikasi yang ada sekarang. Masa dimana orang bisa mengobrol melalui banyak instrumen. bahkan orang bisa saling berkirim pesan tanpa melalui aplikasi spesifik perpesanan. Edannya lagi, Sekarang di aplikasi ojek onlen pun orang bisa menjalin pertemanan dan mengobrol secara gayeng dan guyub. Biarlah layanan SMS menjadi penanda penting perkembangan peradaban manusia. dan mari beranjak tanpa meninggalkan esensi dari pesan itu sendiri.. "menyampaikan rasa"
Selasa, 27 April 2021
1.000 Kunang-Kunang di Manhattan: Ada Apa dengan Marno? - Sebuah Impresi
Bagaimana caranya menghadirkan kunang-kunang di hutan beton belantara New York sana? Hanya Marno yang bisa melakukannya. Cerita ini pertama kali dirilis oleh Pak Umar Kayam tahun 1970-an, dan baru awal 2021 saya sempat membaca karya ini. Ibarat lukisan, cerita ini mungkin beraliran impresionisme, dimana setiap pembaca memiliki ruang yang sangat luas untuk menginterpretasikan konflik yang terjadi. Sejak membaca kalimat pertama dalam cerita pendek ini, saya kesulitan untuk memahami plot apa yang ingin disampaikan Pak Umar Kayam dalam ceritanya. Mungkin jika pembaca kurang jeli, cerita ini seperti tidak ada ujung pangkalnya, hanya menghadirkan percakapan dua orang dewasa yang ringan. Tapi ternyata disitulah keajaiban penulis dapat menghadirkan konflik yang dialami oleh Jane dan Marno.
Sederhana sekali, cerita ini menyajikan percakapan dua orang dewasa berbeda jenis kelamin yaitu Marno dan Jane di apartemen milik Jane di tengah Kecamatan Manhattan, Kabupaten New York. Bayangan saya, peran Jane ini sangat cocok digambarkan sebagai Emma Watson. Nah untuk peran Marno ini, saya agak kebingungan. Memvisualisasikan Marno sebagai sebuah persona agak rumit mengingat di dalam cerita yang sependek ini, Pak Umar Kayam memasukkan begitu banyak kepribadian didalamnya. Pertanyaan saya Pak, kenapa harus namanya Marno? Di satu sisi, Marno mewakili gambaran seorang pria yang modern namun di sisi lain juga terlihat seseorang yang masih memegang nilai-nilai ketimuran, yang mungkin meskipun tidak nampak secara teguh dianutnya. Cuek, tapi gamang.. atau Modern, tapi naif. Satu sisi Nicholas Saputra, tapi sebagian juga Dodit Mulyanto (serius, saya tidak tau kenapa tia-tiba muncul nama Dodit).
Pak Kayam sangat lihai menyembunyikan plot besar dalam sebuah cerita ringkas. Bagaimana tiba-tiba di tengah New York sana Marno seolah tiba-tiba melihat kunang-kunang yang mungkin dulu sering ia lihat di persawahan pinggir kampungnya, tidak jauh dari Prambanan sana. Kemudian ada adegan Jane tiba-tiba teringat suaminya-yang mantan suaminya (apa anda bingung? sama!) saat sedang menikmati minuman bersama Marno di apartemen. Menurut saya, kenapa Jane sampai seperti itu adalah Pak Kayam ingin menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi rapuh, dia memerlukan Marno untuk bersandar dari masalahnya. Marno yang versi dodit- tentu saja seharusnya tidak melewatkan kesempatan itu ketika ditawari menginap di apartemen Jane, kapan lagi!. Di saat yang sama, Marno yang versi Nicholas Saputra dengan tegas menolak tawaran tersebut dan memilih pulang ke kontrakannya tanpa membawa kado pemberian Jane. Mungkin saat itu Marno teringat masa kecilnya ketika dulu di surau kampung diingatkan untuk tidak menuruti hawa nafsunya. Sebuah clue lain yang disisipkan Pak Kayam untuk menunjukkan kenaifan Marno adalah dia meminum scotch dengan banyak tambahan air dan es. Membedakan vermouth dengan bourbon saja dia tidak yakin :)
Kerapuhan Jane di cerita ini terlihat saat dia berusaha untuk membuat suasana lebih cair. Dia ingin mendapatkan respon yang hangat dari Marno, namun sepertinya Jane tidak tahu bahwa Marno (baik versi dodit atau versi Nicholas Saputra) sedang memiliki kekusutan pikirannya sendiri. Marno tidak banyak bicara di potongan adegan tersebut, dia hanya menimpali Jane sekenanya sambil (mungkin) menghitung berapa banyak kunang-kunang yang ia lihat (atau ia ingat).
Di beberapa percakapan terlihat bahwa Jane berusaha membandingkan Marno dengan mantan suami-suaminya, seharusnya Marno marah besar jika ternyata hubungan mereka bukanlah sebuah pertemanan biasa. Tapi Marno tetap terlihat, apa ya.. cuek mungkin ya.. atau sedang dalam keruwetannya sendiri. Ini juga yang sepertinya dikaburkan oleh penulis, Pak Kayam memberikan ruang dan waktu bagi para pembacanya untuk menginterpretasikan hubungan antara Marno dan Jane. Bisa jadi interpretasi anda dan saya berbeda. Menurut saya, Marno dari awal paham bahwa posisinya bukanlah prioritas di mata Jane, Bahwasanya Jane masih ada semacam unfinished business dengan suami-mantan suaminya. Dan ternyata pun Marno masih terikat dengan istrinya di kampung. Kemungkinan Marno, setelah dihadapkan dengan ketidak pastian hubungannya dengan Jane tiba-tiba merefleksikan kondisinya sekarang. Kunang-kunang yang dilihat Marno memunculkan bayangan istrinya di kampung, mengingatkan value-value yang pernah diajarkan di masa lalunya dan bagaimana dia telah mengkhianati semuanya pada saat yang bersamaan. Disinilah Jane yang awalnya merasa sebagai partner in crime untuk Marno berubah menjadi korban sehingga Jane harus tertidur sambil menangis (meskipun) setelah meminum beberapa butir obat tidur di akhir cerita.Duh Mas Marnoooo.. kok ya sampeyan menyulitkan diri sendiri to ya, mbok ya menyulitkan orang lain saja
Sampai di sini anda sudah bisa menangkap kira-kira konflik apa yang terjadi di antara Marno dan Jane? Hebatnya cerita ini, penulis sama sekali tidak menyusun narasi yang secara eksplisit menjelaskan pertentangan-pertentangan yang terjadi antara Marno dan Jane. Pesan saya untuk Jane adalah, Mbak, daripada ngeyel mengatakan bahwa bulan berwarna ungu, mending mbaknya sekali-sekali main ke kampungnya Marno di timur Candi Prambanan. Cobalah lihat apa warna Bulan kalau dilihat dari sana sambil ngerasain gimana rasanya ditapuk sandal jepit oleh istri Marno.
Satu catatan saya di akhir tulisan, melalui drama pendek ini, Pak Umar Kayam telah sukses mengaduk-aduk imajinasi pembacanya. Cerita sederhana ini berhasil membuat pembacanya berpikir keras, apa yang terjadi diantara kedua tokohnya, konflik seperti apa yang mereka hadapi dan konklusi bagaimana di akhir cerita. Pembaca dibiarkan mengira-ngira sendiri. Bayangkan bila Pak Umar Kayam menulis cerita horor sodara-sodara.. kengerian seperti apa yang akan menghanyuti pikiran pembacanya.
Untuk Pak Umar Kayam, maturnuwun sanget Pak, suwargi langgeng.
Minggu, 25 April 2021
Ode untuk Sate Ayam di Seluruh Jagad Raya
" Kik, nek awakmu gelem potong rambut, taktukokke sate ayam. Oke?"
Begitulah cara almarhum Papa membujuk anak lanangnya agar mau potong rambut. Masih ingat dulu harganya hanya seribu rupiah per porsi berisi sepuluh tusuk sate (jangan bertanya berapa harganya sekarang, bikin sedih). Sebuah kalimat yang pada akhirnya membuat saya rela dan iklas serta berani menghadapi ketakutan terbesar saya, yaitu potong rambut. Dari dulu saya selalu enggan untuk sekedar berkunjung secara rutin menemui gunting dan hair clipper beserta seluruh sanak kadangnya. Dan mohon dibayangkan bahwa hair clipper yang digunakan pada saat itu bukan jenis electric sodara-sodara, Manual! yang harus dioperasikan seperti gunting. salah gerak sedikit, dipastikan potongannya akan miring, hasil cukuran yang tidak rata adalah risiko paling minimal, lebih parah lagi, kepala bisa baret-baret yang berpotensi menimbulkan pitak permanen. Pastinya bukan karena phobia, lebih ke urusan psikologis sebenarnya, tepatnya trauma. Bayangkan saat itu anak kecil dengan bentuk muka membulat dengan rambut lemas jatuh kebawah yang baru saja keluar dari tukang potong rambut. Poni yang jatuh lurus sampai batas alis akan semakin mempertegas kebulatan bentuk muka saya saat itu. Penampilan baru itulah hal yang selalu membuat saya enggan sowan ke tukang cukur secara rutin. Gampangnya, memiliki rambut gondrong acak-acakan adalah zona nyaman saya saat itu. sekarang juga sih.
Hanya sate ayam lah yang saat itu mampu memberikan keberanian dan ketabahan saat harus keluar dari zona nyaman rambut gondrong ndezzo. Sampai saat ini keengganan itu masih ada. Umumnya Hanya satu kali dalam satu tahun saya pergi ke tukang cukur, paling banyak dua kali dalam setahun. Sampai sekarang. Kalau dulu ketika sekolah, biasanya hanya menyambangi tukang cukur ketika sudah ditegur guru. Dulu saat SMP sampai pernah dipanggil ke ruang Guru hanya untuk dihadapkan ke cermin dan dipakaikan bando oleh guru kesenian. Bayangkan, guru kesenian yang biasanya lebih paham bahwa seniman seperti saya ini memerlukan tingkat kebebasan berekspresi lebih luas pun sampai jengah melihat rambut saya yang sering awut-awutan. Seniman ini pak, seniman loh pak. Namun sayangnya mulai saat itu peran sate ayam mulai menghilang, utamanya karena Almarhum Papa sudah jarang niliki anaknya yang nekat minta sekolah terpisah dari bapak-ibuknya.
Hal itulah yang sedari awal membuat saya merasa sangat dekat dengan panganan bernama sate ayam ini. Lebih spesifik sate ayam berbumbu kacang dan kecap manis dengan taburan bawang merah mentah. Maaf saya harus agak detail kali ini, agar para pembaca dapat memiliki gambaran yang jelas, karena mungkin di tempat lain ada makanan bernama sate ayam tapi dengan bumbu atau cara masak yang berbeda. ya mana tahu kan ya.. Mungkin di tempat lain ada definisi yang berbeda tentang sate ayam. Sate ayam madura atau sate ayam ponorogo, atau sate ayam manapun tidak masalah bagi saya, sepanjang makanan itu berupa daging ayam yang ditusuk potongan bambu, dibakar sampai matang dan disajikan dengan bumbu campuran kacang, kemiri, daun jeruk, gula merah dan kecap manis. Menurut saya, tidak ada sate ayam yang tidak enak. Yang membedakan satu sate ayam dengan yang lain adalah apakah porsi yang disajikan memuaskan atau tidak. Irisan dagingnya tebal atau tipis, bumbunya melimpah atau tidak. Tapi kembali lagi, semuanya enak (menurut saya loh ya).
Sampai saat ini, sate ayam masih memiliki posisi magisnya tersendiri yang membuatnya menjadi salah satu makanan favorit saya, selain nasi rendang kumplit (plus telur dadar atau perkedel kentang) dan nasi goreng (apapun jenisnya). Jika menghampiri warung yang salah satu menunya sate ayam, saya wajib memilih sate ayam. Jika menemui warung masakan padang, menu yang wajib saya pesan adalah nasi rendang kumplit. Begitu pula kalau ke restoran chinese food atau tukang nasi goreng keliling, menu yang pasti saya pesan adalah nasi goreng! Tidak perlu berpikir panjang atau bingung memilih. Lalu bagaimana jika di suatu saat, suatu tempat ada restoran yang menjual tiga menu di atas? Biasanya tidak sulit memutuskan memilih menu apa, yang jelas menu sate ayam yang dijual di warung nasi goreng tidak lebih enak dari menu nasi gorengnya. Begitu pula nasi goreng yang dijual di Restoran Minang, pasti lebih enak rendangnya. Apalagi kalau ada warung sate madura jual rendang.. sudahlah pilih sate saja pastinya.
Menikmati seporsi sate, menurut saya tidak perlu didramatisir seperti para pemuja kopi yang merasa perlu menyesap tiap kepulan uap panasnya sebelum mengecap kopi itu sendiri. Menikmati seporsi sate cukup sewajarnya saja.. campurkan bumbu sate ke nasi panas, semakin panas nasinya, semakin sempurnalah fusion yang terjadi, seperti reaksi kimia yang memerlukan kondisi suhu tertentu untuk terjadi. Tidak perlu menunggu waktu lama, nasi dan bumbu kacang tidak akan pernah kembali sama seperti sebelumnya, Irreversible reaction lah bahasanya sainsnya. Menikmati sate ayam memang harusnya tidak terlepas dari bumbu kacang dan nasi panas/lontong. Tritunggal yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Makan sate pakai bumbu kacang tanpa nasi/lontong.. gak kenyang, Makan nasi/lontong tanpa sate ayam komplit bumbu kacang, namanya bukan makan sate sodara-sodara, ngirit amat sih. Makan bumbu kacang tanpa daging sate dan nasi... sepertinya anda sedang di warung gado-gado, tukang sate letaknya masih jauh.
Penggemar sate ayam secara umum memiliki kedewasaan yang lebih baik daripada penggemar bubur yang ribut-ribut saling menegasi apakah lebih baik diaduk atau tidak. Penggemar sate tidak mempermasalahkan, mau satenya dimakan langsung dari tusuknya atau dipreteli dari tusukan kemudian disendok ke mulut. Kami sangat memahami bahwa pilihan itu adalah hak murni masing-masing personal. Tidak ada yang perlu diperdebatkan atau diluruskan. Urutan memakan seporsi sate yang paling nikmat adalah pertama-tama makan nasi dan bumbu sate terlebih dahulu, agar sensasi gurih kacang dan manisnya kecap memberikan pemanasan yang memadai untuk rongga mulut dan lidah. Selanjutnya, ketika tusukan daging ayam tertancap di gigi, rasa-rasanya sensor perasa di lidah juga membuka kantor cabang di gigi. Baru digigit, sudah terasa enaknya. Tugas kita hanya memasukkan irisan daging dan bumbu kacang ke mulut, selebihnya mereka yang akan memainkan orkestrasi megah di dalam mulut. Jika anda memburu sisa bumbu yang menempel di kertas pembungkus sate sampai bersih, anda adalah saudara saya!
Berbeda dari nasi rendang dan nasi goreng, saya perlu pertimbangan matang untuk memutuskan membeli sate ayam. Meskipun salah satu makanan favorit, belum tentu dalam satu bulan saya menikmati sate ayam ini. Bukan (hanya) karena harganya agak lumayan mahal, bagi saya menikmati sate ayam adalah sebuah proses penziarahan terhadap proses lelaku hidup yang saya alami. Setiap tusuk sate ayam yang masuk ke mulut seolah perjamuan yang mengantarkan kenangan-kenangan masa kecil, juga upaya untuk menghadirkan "self rewarding" atas keputusan besar yang baru saya alami saat itu (baca:potong rambut). Jadi, menurut saya saat ini, untuk dapat selalu menghadirkan sensasi yang sama atas nikmatnya sate ayam, makanan ini tidak boleh terlalu sering saya nikmati, harus ada momentum yang pas dan suasana yang tepat. Hal ini penting karena saya harus menghidupi ritual makan sate agar nilai-nilai yang saya rasakan tidak hilang begitu saja karena frekuensi yang berlebihan.
Menurut saya, begitulah sate ayam.. se-simpel itu dan pada saat yang sama se-sentimental itu. Ah jadi pengen makan sate ayam kan..
Kamis, 01 April 2021
Polisi Tidur, manfaat atau mudharat?
Setiap sore ketika harus menjemput Luna dari rumah guru pengasuhnya, saya selalu harus melewati satu gang di pemukiman yang harus dilalui dengan penuh penyiksaan. Jalan itu kurang lebih hanya sepanjang 50 meter, tapi disitu terpasang empat buah polisi tidur dengan ukuran yang lebih pantas disebut "tanggul penahan banjir". Sebuah penyianyiaan oli shockbreaker motor yang sangat unfaedah (menurut saya-sebagai korban). Saya penasaran, kira-kira kejadian apa yang pernah terjadi di sana sampai warga setempat dengan semangatnya memasang tanggul banjir di tengah jalan. Memang di sana banyak terdapat anak kecil berlalu-lalang di jalan, tapi kalau dipikir-pikir apakah anak-anak itu juga tidak terganggu dengan adanya si polisi tidur tadi?
Di satu sisi, polisi tidur dipasang oleh warga setempat mengantisipasi agar orang tidak ngebut ketika melewati jalur tersebut. Benar tujuannya apabila polisi tidur dijadikan sarana untuk menghukum si pengebut tidak bertanggungjawab. Benar juga bila tujuannya adalah untuk mengantisipasi agar orang tidak ugal-ugalan di jalan lingkungan. Tapi di sisi lain, si polisi tidur itu juga menghukum orang yang tidak bersalah, ya contohnya saya ini.. Jangankan ngebut, narik tuas gas secara agresif pun saya urungkan jika tidak terpaksa. Bukannya karena saya adalah orang tertib berlalu lintas, tapi saya tipe orang yang sadar risiko. Risiko yang nyata di depan mata adalah ban motor saya sudah lumayan tipis. Ora sumbut babar blas lah.
Balik ke hukuman tadi, saya sangat sepakat bahwa harus ada aturan yang dapat memastikan keamanan dan kenyamanan berlalu lintas, tapi hukuman juga harus memperhatikan "pelanggaran"nya. Disini, di polisi tidur, nampak sebuah penegakan hukum yang justru menghukum semua orang tanpa melihat apakah orang tersebut melakukan pelanggaran atau tidak. mau pelan, mau kenceng atau bahkan dengan kecepatan cahaya, kendaraan yang melalui si polisi tidur wajib "ngglodak". Bedanya adalah sejauh mana anda harus terlempar dari kendaraan.
Jika dilihat polanya, polisi tidur yang dibangun dapat menunjukkan kondisi lingkungan sekitarnya. Contoh, di permukiman elit, mungkin polisi tidur akan dibuat dari bahan paving, aspal dengan besi bordes di pinggirnya serta dicat sebagai penanda. di permukiman yang lebih "umum", mungkin anda akan melihat polisi tidur dibuat dari campuran semen dan bata atau besi beton dengan ukuran tidak terlalu besar tapi cukup tinggi untuk mengganggu kenyamanan perjalanan anda. di tempat lain mungkin polisi tidur akan dibuat dari tali tambang yang dipaku ke badan jalan. Di tempat lain juga anda akan mendapati polisi tidur terbuat dari selongsong kabel fiber optik atau bahkan balok kayu. Artinya adalah, hukum dibentuk sesuai dengan sudut pandang dan kemampuan si pembuatnya. Adaptif. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang berlaku di satu tempat, belum tentu dapat diterapkan di komunitas lain makplek makplek. Polisi tidur di jalan yang sering dilalui truk, strukturnya pasti akan berbeda dengan polisi tidur di jalan komplek yang paling banter hanya dilalui motor roda tiga pengangkut galon. Meskipun tujuannya sama, kekuatan dan keteguhan hukum itu harus berbeda.
Disinilah terlihat bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara adil. Kalau hukum tersebut tidak dapat menunjukkan keadilan dengan benar, maka di satu titik justru akan memantik reaksi pihak tertentu untuk mendekonstruksi hukum itu, atau kasarnya, melawan. atau, di sisi lain kita bisa melihat bahwa hukum itu selalu bisa di"sesuaikan" oleh pihak manapun-apapun itu motivasinya. contohnya sangat jelas terlihat ketika ada sebuah polisi tidur yang "dimodifikasi" dengan adanya celah-celah tipis di beberapa titik untuk mengakomodasi para pengguna jalan yang sedari awal tidak ada niatan buruk untuk ngebut. biasanya, kalau celah itu rapi, bisa jadi celah di polisi tidur dibuat atas inisiatif atau kesepakatan seluruh warga setempat yang (mungkin telah menerima pencerahan bahwa) menyadari bahwa selain menyusahkan orang lain, polisi tidur itu juga menyusahkan diri mereka sendiri. Lain ceritanya kalau celah di polisi tidur terkesan kasar, cacat bentuknya, ada kesan dipaksakan. Biasanya itu adalah bentuk protes pengguna jalan yang merasa dirugikan secara sepihak. Nah disini terlihat malah muncul konflik antara si polisi tidur dengan pihak-pihak yang sebenarnya bukan obyek yang menjadi munculnya si polisi tidur. Tentunya ini kontra-produktif dengan tujuan dibentuknya hukum itu di awal. Yang mana seharusnya hukum ini berhadapan dengan para pelanggarnya, namun justru dia bermasalah dengan orang yang mungkin tidak memiliki niat untuk melanggar si hukum tadi.
Sebenarnya hukum (baca:polisi tidur) itu urusan niat, baik niat si pembuatnya, atau niat orang-orang yang melanggarnya. Hukum adalah wujud upaya manusia beradab untuk melindungi dirinya atau wilayahnya, namun perlu diperhatikan aspek keadilan dibalik hukum tersebut. Dan harus ada upaya untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak mengganggu keadilan. Wes ngono tok. suwun
Rabu, 24 Februari 2021
Sambal sebagai Penanda Peradaban
Sejak bangsa kita berhasil membudidayakan tanaman cabai, sejak saat itulah peradaban terutama perilaku makan menjadi seperti yang kita jalani sekarang. Kalau dirunut ke belakang, cabai bukanlah tanaman asli Indonesia, Cabai masuk ke Indonesia kurang lebih pada abad 15 atau 16, dibawa oleh bangsa Portugis. Sebelum itu kita tidak mengenal cabai seperti yang kita kenal sekarang. Memang sambal hanya berupa komplementer dalam piring hidangan umat manusia, utamanya orang Indonesia, kita-kita ini. Posisinya dalam diagram asupan nutrisi seimbang pun tidak disebutkan secara jelas dan tegas, sebagaimana tomat dan terong yang masih ambigu, harusnya disebut buah atau sayur. Namun ada atau tidaknya sambal dalam opsi pilihan menu akan sangat berdampak pada kenikmatan makanan yang sedang kita santap. setuju?
Frasa "Urip nelongso ora opo opo, isih iso mangan sego karo sambel" sering saya dengar ketika seseorang sedang kepepet secara finansial sehingga hanya tinggal bisa makan nasi dan sambal saja. Namun ternyata jika frasa tersebut dikulik lebih dalam, ada semacam rasa syukur dan kesadaran tinggi di dalamnya. Pertama, terlihat bahwa ada upaya untuk menjaga martabat, mempertahankan taraf hidup.. bahwa sesusah apapun hidup, urusan makanan masih harus lezat dan dapat membahagiakan jasmani rohani.. ya lewat sambal tadi. Sudah susah gak punya duit, eh masih bisa bikin sambal, yang mana untuk membuat sambel yang proper, tentunya perlu bahan lain selain cabai. Mungkin cabai masih bisa metik di halaman rumah, atau minta ke tetangga.. lha bawang e, moso yo meh njaluk juga. Kedua, Se enak-enaknya sambal, hanya akan nikmat jika disantap mendampingi makanan pokok kita. Di frase tersebut ada dua komponen comfort food di kala susah, dwi tunggal nasi dan sambal. Dari sejak awal penciptaannya, sambal memang tidak diciptakan untuk diperlakukan sebagai makanan pokok umat manusia, karena memang organ manusia tidak didesain untuk mampu menahan dahsyatnya ledakan reaksi kimia cabai di dalam tubuh. agak ngeri kalau posisi nasi atau karbohidrat di piring digantikan oleh sambal secara reguler. Kalau sampai ada orang makan sambal sampai kekenyangan, dapat dipastikan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama akan mulai terjadi gangguan fungsi pencernaan di usus, dan tidak lama sebelunya mungkin sudah terjadi pendarahan fatal di selaput lambung. Makanya, se-susah-susahnya orang, dia tidak akan meninggalkan nasi sebelum sambal. Uwes urip susah, kok malah menyakiti diri sendiri. Entah, apakah sakit karena makan sambal secara masif dan tidak terkontrol dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Di satu titik, keberadaan sambal mengajak kita untuk sedikit berkontemplasi, Pertama, apakah kita benar-benar butuh secara esensial, atau posisinya hanya sebagai pemuas nafsu ragawi kita sebagai manusia? Pedasnya cabai mungkin hanya berpengaruh di lidah kita, Bahwasanya sambal terasa nikmat karena ia pedas. Disini terlihat adanya sebuah kontradiksi, kita merasa keenakan ketika sel sel indera perasa di lidah kita tersiksa panasnya reaksi kimia dengan senyawa kapsaisin. Agak sedikit sadis ya. Kedua, Sambal hanya bisa terjadi jika cabai dengan rendah hati melepaskan keterikatannya pada segala bentuk keduniawiannya dan menyatu dengan kosmos dalam cobek dan ulekan berpadu dengan bahan-bahan lainnya. Dalam sebuah sambal, peran cabai dominan tidak dapat dikesampingkan meskipun wujudnya sudah melebur bersatu manunggal dengan esensi yang berasal dari bahan lainnya.
Memang manusia diciptakan dengan akal pikiran untuk dapat bertahan hidup, merangkai berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya, begitu pula dengan urusan persambalan duniawi. Agak sedih ketika di internet sudah mulai banyak resep sambal yang dibuat tanpa menggunakan cabai. Sambal disebut sambal menurut saya karena ada unsur kegetiran dan kenikmatan yang tercipta selaras. Ada keseimbangan Yin dan Yang, Ada alpha dan omega, ada sebab dan akibat disitu, tidak boleh dipisah. Sambal yang dibuat tanpa cabai menurut saya sangat membahayakan definisi sambalitu sendiri. Memang dulunya sebelum masa hadirnya cabai di Indonesia, orang tidak membuat sambal dengan cabai, namun apakah kita akan kembali ke masa-masa itu. Sambal tanpa cabai seperti Alam semesta sedang menyambut kehancurannya sendiri. Unsur keseimbangan di dalamnya sangat rapuh, keselarasan kosmis yang tercipta di ulekan tidak akan tercapai, yang pada akhirnya tidak akan dapat mengantar penikmatnya ke dalam pencerahan diri. weh adoh tenann!!! Nah jika ada orang membuat sambal dibuat tanpa cabai, monggo silahkan, sebut saja, saus, dressing, atau yang lain, jangan sambal. plis ya.
Pedasnya cabai mungkin memiliki sensasi seperti opium, minuman keras, atau zat aditif lainnya, yang pada taraf tertentu menimbulkan efek ketergantungan. Dalam alam bawah sadar, kita pasti menyadari bahwa mengkonsumsi sambal harus dibarengi dengan kedewasaan pikiran, serius ini. Anda tidak dapat mekan sambal dengan lahapnya tanpa mengingat batasan diri dan konsekuensi gangguan pencernaan di belakangnya, kecuali kalau organ pencernaan anda terbuat dari logam adamantium berlapis emas berlian. Kembali ke statement di awal, orang bisa cukup hanya makan nasi dan sambal saja. Kenapa, berdasarkan penelitian yang saya lakukan, sendiri, pada diri sendiri, ketika menikmati pedasnya sambal, seluruh sel syaraf kita hanya fokus pada pedasnya sambal, sehingga untuk sesaat kita dapat melupakan beban hidup,tunggakan cicilan, deadline pekerjaan bahkan rasa jengkel karena bersenggolan dengan angkot di jalan. Air mata keluar, keringat bercucuran, semua indera hanya tertuju pada sensasi rasa membara di lidah. Sejenak, pertanyaan filosofis tentang ekstensialitas manusia hadir di dunia dapat dikesampingkan. Menyakitkan.. tetapi sangat menyenangkan. Sayangnya sensasi itu hanya terasa untuk sepersekian detik. anda bisa memperpanjang sensasi tersebut dengan menambah kuantitas asupan sambal, meningkatkan level kepedasan, namun harap diingat, ada konsekuensi yang siap menghampiri di belakang! Begitu pula dengan efek ketergantungan yang ditimbulkan. Jadi seyogyanya di setiap kemasan sambal ditempelkan stiker "Sambal membunuhmu" atau "dont eat sambal and drive", lebay yen iki.
Minggu, 28 Februari 2016
Bangsa yang besar adalah Bangsa yang tidak lupa Soto-nya
Opo Moral iku Mural?
Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat. Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ...
blogroll
-
minum orange juice sambil ngaca.. kok rasanya jadi kaya yakult yak! asem! oh mungkin gara2 minumnya sambil ngaca.. (Tue, 23 Nov 2010 01:09:2...
-
Kalau ada award sekretariat kampus terusil sejagat raya, mungkin sekretariat kampus gw adalah salah satu nominatornya. Hal ini terbukti saa...
-
tata tertib pemilu 1. Anda tidak perlu membawa alat pelubang kertas suara dari rumah. Tidak perlu membawa paku atau linggis sendiri dari r...