Rabu, 24 Februari 2021

Sambal sebagai Penanda Peradaban


Sejak bangsa kita berhasil membudidayakan tanaman cabai, sejak saat itulah peradaban terutama perilaku makan menjadi seperti yang kita jalani sekarang. Kalau dirunut ke belakang, cabai bukanlah tanaman asli Indonesia, Cabai masuk ke Indonesia kurang lebih pada abad 15 atau 16, dibawa oleh bangsa Portugis. Sebelum itu kita tidak mengenal cabai seperti yang kita kenal sekarang. Memang sambal hanya berupa komplementer dalam piring hidangan umat manusia, utamanya orang Indonesia, kita-kita ini. Posisinya dalam diagram asupan nutrisi seimbang pun tidak disebutkan secara jelas dan tegas, sebagaimana tomat dan terong yang masih ambigu, harusnya disebut buah atau sayur. Namun ada atau tidaknya sambal dalam opsi pilihan menu akan sangat berdampak pada kenikmatan makanan yang sedang kita santap. setuju? 

Frasa "Urip nelongso ora opo opo, isih iso mangan sego karo sambel" sering saya dengar ketika seseorang sedang kepepet secara finansial sehingga hanya tinggal bisa makan nasi dan sambal saja. Namun ternyata jika frasa tersebut dikulik lebih dalam, ada semacam rasa syukur dan kesadaran tinggi di dalamnya. Pertama, terlihat bahwa ada upaya untuk menjaga martabat, mempertahankan taraf hidup.. bahwa sesusah apapun hidup, urusan makanan masih harus lezat dan dapat membahagiakan jasmani rohani.. ya lewat sambal tadi. Sudah susah gak punya duit, eh masih bisa bikin sambal, yang mana untuk membuat sambel yang proper, tentunya perlu bahan lain selain cabai. Mungkin cabai masih bisa metik di halaman rumah, atau minta ke tetangga.. lha bawang e, moso yo meh njaluk juga. Kedua, Se enak-enaknya sambal, hanya akan nikmat jika disantap mendampingi makanan pokok kita. Di frase tersebut ada dua komponen comfort food di kala susah, dwi tunggal nasi dan sambal. Dari sejak awal penciptaannya, sambal memang tidak diciptakan untuk diperlakukan sebagai makanan pokok umat manusia, karena memang organ manusia tidak didesain untuk mampu menahan dahsyatnya ledakan reaksi kimia cabai di dalam tubuh. agak ngeri kalau posisi nasi atau karbohidrat di piring digantikan oleh sambal secara reguler. Kalau sampai ada orang makan sambal sampai kekenyangan, dapat dipastikan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama akan mulai terjadi gangguan fungsi pencernaan di usus, dan tidak lama sebelunya mungkin sudah terjadi pendarahan fatal di selaput lambung. Makanya, se-susah-susahnya orang, dia tidak akan meninggalkan nasi sebelum sambal. Uwes urip susah, kok malah menyakiti diri sendiri. Entah, apakah sakit karena makan sambal secara masif dan tidak terkontrol dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.  

Di satu titik, keberadaan sambal mengajak kita untuk sedikit berkontemplasi, Pertama, apakah kita benar-benar butuh secara esensial, atau posisinya hanya sebagai pemuas nafsu ragawi kita sebagai manusia? Pedasnya cabai mungkin hanya berpengaruh di lidah kita, Bahwasanya sambal terasa nikmat karena ia pedas. Disini terlihat adanya sebuah kontradiksi, kita merasa keenakan ketika sel sel indera perasa di lidah kita tersiksa panasnya reaksi kimia dengan senyawa kapsaisin. Agak sedikit sadis ya. Kedua, Sambal hanya bisa terjadi jika cabai dengan rendah hati melepaskan keterikatannya pada segala bentuk keduniawiannya dan menyatu dengan kosmos dalam cobek dan ulekan berpadu dengan bahan-bahan lainnya. Dalam sebuah sambal, peran cabai dominan tidak dapat dikesampingkan meskipun wujudnya sudah melebur bersatu manunggal dengan esensi yang berasal dari bahan lainnya. 

Memang manusia diciptakan dengan akal pikiran untuk dapat bertahan hidup, merangkai berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya, begitu pula dengan urusan persambalan duniawi. Agak sedih ketika di internet sudah mulai banyak resep sambal yang dibuat tanpa menggunakan cabai. Sambal disebut sambal menurut saya karena ada unsur kegetiran dan kenikmatan yang tercipta selaras. Ada keseimbangan Yin dan Yang, Ada alpha dan omega, ada sebab dan akibat disitu, tidak boleh dipisah. Sambal yang dibuat tanpa cabai menurut saya sangat membahayakan definisi sambalitu sendiri. Memang dulunya sebelum masa hadirnya cabai di Indonesia, orang tidak membuat sambal dengan cabai, namun apakah kita akan kembali ke masa-masa itu. Sambal tanpa cabai seperti Alam semesta sedang menyambut kehancurannya sendiri. Unsur keseimbangan di dalamnya sangat rapuh, keselarasan kosmis yang tercipta di ulekan tidak akan tercapai, yang pada akhirnya tidak akan dapat mengantar penikmatnya ke dalam pencerahan diri. weh adoh tenann!!! Nah jika ada orang membuat sambal dibuat tanpa cabai, monggo silahkan, sebut saja, saus, dressing, atau yang lain, jangan sambal. plis ya.

Pedasnya cabai mungkin memiliki sensasi seperti opium, minuman keras, atau zat aditif lainnya, yang pada taraf tertentu menimbulkan efek ketergantungan. Dalam alam bawah sadar, kita pasti menyadari bahwa mengkonsumsi sambal harus dibarengi dengan kedewasaan pikiran, serius ini. Anda tidak dapat mekan sambal dengan lahapnya tanpa mengingat batasan diri dan konsekuensi gangguan pencernaan di belakangnya, kecuali kalau organ pencernaan anda terbuat dari logam adamantium berlapis emas berlian. Kembali ke statement di awal, orang bisa cukup hanya makan nasi dan sambal saja. Kenapa, berdasarkan penelitian yang saya lakukan, sendiri, pada diri sendiri, ketika menikmati pedasnya sambal, seluruh sel syaraf kita hanya fokus pada pedasnya sambal, sehingga untuk sesaat kita dapat melupakan beban hidup,tunggakan cicilan, deadline pekerjaan bahkan rasa jengkel karena bersenggolan dengan angkot di jalan. Air mata keluar, keringat bercucuran, semua indera hanya tertuju pada sensasi rasa membara di lidah. Sejenak, pertanyaan filosofis tentang ekstensialitas manusia hadir di dunia dapat dikesampingkan. Menyakitkan.. tetapi sangat menyenangkan. Sayangnya sensasi itu hanya terasa untuk sepersekian detik.  anda bisa memperpanjang sensasi tersebut dengan menambah kuantitas asupan sambal, meningkatkan level kepedasan, namun harap diingat, ada konsekuensi yang siap menghampiri di belakang! Begitu pula dengan efek ketergantungan yang ditimbulkan. Jadi seyogyanya di setiap kemasan sambal ditempelkan stiker "Sambal membunuhmu" atau "dont eat sambal and drive", lebay yen iki. 

 

Tidak ada komentar:

Opo Moral iku Mural?

Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat. Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ...