" Kik, nek awakmu gelem potong rambut, taktukokke sate ayam. Oke?"
Begitulah cara almarhum Papa membujuk anak lanangnya agar mau potong rambut. Masih ingat dulu harganya hanya seribu rupiah per porsi berisi sepuluh tusuk sate (jangan bertanya berapa harganya sekarang, bikin sedih). Sebuah kalimat yang pada akhirnya membuat saya rela dan iklas serta berani menghadapi ketakutan terbesar saya, yaitu potong rambut. Dari dulu saya selalu enggan untuk sekedar berkunjung secara rutin menemui gunting dan hair clipper beserta seluruh sanak kadangnya. Dan mohon dibayangkan bahwa hair clipper yang digunakan pada saat itu bukan jenis electric sodara-sodara, Manual! yang harus dioperasikan seperti gunting. salah gerak sedikit, dipastikan potongannya akan miring, hasil cukuran yang tidak rata adalah risiko paling minimal, lebih parah lagi, kepala bisa baret-baret yang berpotensi menimbulkan pitak permanen. Pastinya bukan karena phobia, lebih ke urusan psikologis sebenarnya, tepatnya trauma. Bayangkan saat itu anak kecil dengan bentuk muka membulat dengan rambut lemas jatuh kebawah yang baru saja keluar dari tukang potong rambut. Poni yang jatuh lurus sampai batas alis akan semakin mempertegas kebulatan bentuk muka saya saat itu. Penampilan baru itulah hal yang selalu membuat saya enggan sowan ke tukang cukur secara rutin. Gampangnya, memiliki rambut gondrong acak-acakan adalah zona nyaman saya saat itu. sekarang juga sih.
Hanya sate ayam lah yang saat itu mampu memberikan keberanian dan ketabahan saat harus keluar dari zona nyaman rambut gondrong ndezzo. Sampai saat ini keengganan itu masih ada. Umumnya Hanya satu kali dalam satu tahun saya pergi ke tukang cukur, paling banyak dua kali dalam setahun. Sampai sekarang. Kalau dulu ketika sekolah, biasanya hanya menyambangi tukang cukur ketika sudah ditegur guru. Dulu saat SMP sampai pernah dipanggil ke ruang Guru hanya untuk dihadapkan ke cermin dan dipakaikan bando oleh guru kesenian. Bayangkan, guru kesenian yang biasanya lebih paham bahwa seniman seperti saya ini memerlukan tingkat kebebasan berekspresi lebih luas pun sampai jengah melihat rambut saya yang sering awut-awutan. Seniman ini pak, seniman loh pak. Namun sayangnya mulai saat itu peran sate ayam mulai menghilang, utamanya karena Almarhum Papa sudah jarang niliki anaknya yang nekat minta sekolah terpisah dari bapak-ibuknya.
Hal itulah yang sedari awal membuat saya merasa sangat dekat dengan panganan bernama sate ayam ini. Lebih spesifik sate ayam berbumbu kacang dan kecap manis dengan taburan bawang merah mentah. Maaf saya harus agak detail kali ini, agar para pembaca dapat memiliki gambaran yang jelas, karena mungkin di tempat lain ada makanan bernama sate ayam tapi dengan bumbu atau cara masak yang berbeda. ya mana tahu kan ya.. Mungkin di tempat lain ada definisi yang berbeda tentang sate ayam. Sate ayam madura atau sate ayam ponorogo, atau sate ayam manapun tidak masalah bagi saya, sepanjang makanan itu berupa daging ayam yang ditusuk potongan bambu, dibakar sampai matang dan disajikan dengan bumbu campuran kacang, kemiri, daun jeruk, gula merah dan kecap manis. Menurut saya, tidak ada sate ayam yang tidak enak. Yang membedakan satu sate ayam dengan yang lain adalah apakah porsi yang disajikan memuaskan atau tidak. Irisan dagingnya tebal atau tipis, bumbunya melimpah atau tidak. Tapi kembali lagi, semuanya enak (menurut saya loh ya).
Sampai saat ini, sate ayam masih memiliki posisi magisnya tersendiri yang membuatnya menjadi salah satu makanan favorit saya, selain nasi rendang kumplit (plus telur dadar atau perkedel kentang) dan nasi goreng (apapun jenisnya). Jika menghampiri warung yang salah satu menunya sate ayam, saya wajib memilih sate ayam. Jika menemui warung masakan padang, menu yang wajib saya pesan adalah nasi rendang kumplit. Begitu pula kalau ke restoran chinese food atau tukang nasi goreng keliling, menu yang pasti saya pesan adalah nasi goreng! Tidak perlu berpikir panjang atau bingung memilih. Lalu bagaimana jika di suatu saat, suatu tempat ada restoran yang menjual tiga menu di atas? Biasanya tidak sulit memutuskan memilih menu apa, yang jelas menu sate ayam yang dijual di warung nasi goreng tidak lebih enak dari menu nasi gorengnya. Begitu pula nasi goreng yang dijual di Restoran Minang, pasti lebih enak rendangnya. Apalagi kalau ada warung sate madura jual rendang.. sudahlah pilih sate saja pastinya.
Menikmati seporsi sate, menurut saya tidak perlu didramatisir seperti para pemuja kopi yang merasa perlu menyesap tiap kepulan uap panasnya sebelum mengecap kopi itu sendiri. Menikmati seporsi sate cukup sewajarnya saja.. campurkan bumbu sate ke nasi panas, semakin panas nasinya, semakin sempurnalah fusion yang terjadi, seperti reaksi kimia yang memerlukan kondisi suhu tertentu untuk terjadi. Tidak perlu menunggu waktu lama, nasi dan bumbu kacang tidak akan pernah kembali sama seperti sebelumnya, Irreversible reaction lah bahasanya sainsnya. Menikmati sate ayam memang harusnya tidak terlepas dari bumbu kacang dan nasi panas/lontong. Tritunggal yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Makan sate pakai bumbu kacang tanpa nasi/lontong.. gak kenyang, Makan nasi/lontong tanpa sate ayam komplit bumbu kacang, namanya bukan makan sate sodara-sodara, ngirit amat sih. Makan bumbu kacang tanpa daging sate dan nasi... sepertinya anda sedang di warung gado-gado, tukang sate letaknya masih jauh.
Penggemar sate ayam secara umum memiliki kedewasaan yang lebih baik daripada penggemar bubur yang ribut-ribut saling menegasi apakah lebih baik diaduk atau tidak. Penggemar sate tidak mempermasalahkan, mau satenya dimakan langsung dari tusuknya atau dipreteli dari tusukan kemudian disendok ke mulut. Kami sangat memahami bahwa pilihan itu adalah hak murni masing-masing personal. Tidak ada yang perlu diperdebatkan atau diluruskan. Urutan memakan seporsi sate yang paling nikmat adalah pertama-tama makan nasi dan bumbu sate terlebih dahulu, agar sensasi gurih kacang dan manisnya kecap memberikan pemanasan yang memadai untuk rongga mulut dan lidah. Selanjutnya, ketika tusukan daging ayam tertancap di gigi, rasa-rasanya sensor perasa di lidah juga membuka kantor cabang di gigi. Baru digigit, sudah terasa enaknya. Tugas kita hanya memasukkan irisan daging dan bumbu kacang ke mulut, selebihnya mereka yang akan memainkan orkestrasi megah di dalam mulut. Jika anda memburu sisa bumbu yang menempel di kertas pembungkus sate sampai bersih, anda adalah saudara saya!
Berbeda dari nasi rendang dan nasi goreng, saya perlu pertimbangan matang untuk memutuskan membeli sate ayam. Meskipun salah satu makanan favorit, belum tentu dalam satu bulan saya menikmati sate ayam ini. Bukan (hanya) karena harganya agak lumayan mahal, bagi saya menikmati sate ayam adalah sebuah proses penziarahan terhadap proses lelaku hidup yang saya alami. Setiap tusuk sate ayam yang masuk ke mulut seolah perjamuan yang mengantarkan kenangan-kenangan masa kecil, juga upaya untuk menghadirkan "self rewarding" atas keputusan besar yang baru saya alami saat itu (baca:potong rambut). Jadi, menurut saya saat ini, untuk dapat selalu menghadirkan sensasi yang sama atas nikmatnya sate ayam, makanan ini tidak boleh terlalu sering saya nikmati, harus ada momentum yang pas dan suasana yang tepat. Hal ini penting karena saya harus menghidupi ritual makan sate agar nilai-nilai yang saya rasakan tidak hilang begitu saja karena frekuensi yang berlebihan.
Menurut saya, begitulah sate ayam.. se-simpel itu dan pada saat yang sama se-sentimental itu. Ah jadi pengen makan sate ayam kan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar