Bagaimana caranya menghadirkan kunang-kunang di hutan beton belantara New York sana? Hanya Marno yang bisa melakukannya. Cerita ini pertama kali dirilis oleh Pak Umar Kayam tahun 1970-an, dan baru awal 2021 saya sempat membaca karya ini. Ibarat lukisan, cerita ini mungkin beraliran impresionisme, dimana setiap pembaca memiliki ruang yang sangat luas untuk menginterpretasikan konflik yang terjadi. Sejak membaca kalimat pertama dalam cerita pendek ini, saya kesulitan untuk memahami plot apa yang ingin disampaikan Pak Umar Kayam dalam ceritanya. Mungkin jika pembaca kurang jeli, cerita ini seperti tidak ada ujung pangkalnya, hanya menghadirkan percakapan dua orang dewasa yang ringan. Tapi ternyata disitulah keajaiban penulis dapat menghadirkan konflik yang dialami oleh Jane dan Marno.
Sederhana sekali, cerita ini menyajikan percakapan dua orang dewasa berbeda jenis kelamin yaitu Marno dan Jane di apartemen milik Jane di tengah Kecamatan Manhattan, Kabupaten New York. Bayangan saya, peran Jane ini sangat cocok digambarkan sebagai Emma Watson. Nah untuk peran Marno ini, saya agak kebingungan. Memvisualisasikan Marno sebagai sebuah persona agak rumit mengingat di dalam cerita yang sependek ini, Pak Umar Kayam memasukkan begitu banyak kepribadian didalamnya. Pertanyaan saya Pak, kenapa harus namanya Marno? Di satu sisi, Marno mewakili gambaran seorang pria yang modern namun di sisi lain juga terlihat seseorang yang masih memegang nilai-nilai ketimuran, yang mungkin meskipun tidak nampak secara teguh dianutnya. Cuek, tapi gamang.. atau Modern, tapi naif. Satu sisi Nicholas Saputra, tapi sebagian juga Dodit Mulyanto (serius, saya tidak tau kenapa tia-tiba muncul nama Dodit).
Pak Kayam sangat lihai menyembunyikan plot besar dalam sebuah cerita ringkas. Bagaimana tiba-tiba di tengah New York sana Marno seolah tiba-tiba melihat kunang-kunang yang mungkin dulu sering ia lihat di persawahan pinggir kampungnya, tidak jauh dari Prambanan sana. Kemudian ada adegan Jane tiba-tiba teringat suaminya-yang mantan suaminya (apa anda bingung? sama!) saat sedang menikmati minuman bersama Marno di apartemen. Menurut saya, kenapa Jane sampai seperti itu adalah Pak Kayam ingin menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi rapuh, dia memerlukan Marno untuk bersandar dari masalahnya. Marno yang versi dodit- tentu saja seharusnya tidak melewatkan kesempatan itu ketika ditawari menginap di apartemen Jane, kapan lagi!. Di saat yang sama, Marno yang versi Nicholas Saputra dengan tegas menolak tawaran tersebut dan memilih pulang ke kontrakannya tanpa membawa kado pemberian Jane. Mungkin saat itu Marno teringat masa kecilnya ketika dulu di surau kampung diingatkan untuk tidak menuruti hawa nafsunya. Sebuah clue lain yang disisipkan Pak Kayam untuk menunjukkan kenaifan Marno adalah dia meminum scotch dengan banyak tambahan air dan es. Membedakan vermouth dengan bourbon saja dia tidak yakin :)
Kerapuhan Jane di cerita ini terlihat saat dia berusaha untuk membuat suasana lebih cair. Dia ingin mendapatkan respon yang hangat dari Marno, namun sepertinya Jane tidak tahu bahwa Marno (baik versi dodit atau versi Nicholas Saputra) sedang memiliki kekusutan pikirannya sendiri. Marno tidak banyak bicara di potongan adegan tersebut, dia hanya menimpali Jane sekenanya sambil (mungkin) menghitung berapa banyak kunang-kunang yang ia lihat (atau ia ingat).
Di beberapa percakapan terlihat bahwa Jane berusaha membandingkan Marno dengan mantan suami-suaminya, seharusnya Marno marah besar jika ternyata hubungan mereka bukanlah sebuah pertemanan biasa. Tapi Marno tetap terlihat, apa ya.. cuek mungkin ya.. atau sedang dalam keruwetannya sendiri. Ini juga yang sepertinya dikaburkan oleh penulis, Pak Kayam memberikan ruang dan waktu bagi para pembacanya untuk menginterpretasikan hubungan antara Marno dan Jane. Bisa jadi interpretasi anda dan saya berbeda. Menurut saya, Marno dari awal paham bahwa posisinya bukanlah prioritas di mata Jane, Bahwasanya Jane masih ada semacam unfinished business dengan suami-mantan suaminya. Dan ternyata pun Marno masih terikat dengan istrinya di kampung. Kemungkinan Marno, setelah dihadapkan dengan ketidak pastian hubungannya dengan Jane tiba-tiba merefleksikan kondisinya sekarang. Kunang-kunang yang dilihat Marno memunculkan bayangan istrinya di kampung, mengingatkan value-value yang pernah diajarkan di masa lalunya dan bagaimana dia telah mengkhianati semuanya pada saat yang bersamaan. Disinilah Jane yang awalnya merasa sebagai partner in crime untuk Marno berubah menjadi korban sehingga Jane harus tertidur sambil menangis (meskipun) setelah meminum beberapa butir obat tidur di akhir cerita.Duh Mas Marnoooo.. kok ya sampeyan menyulitkan diri sendiri to ya, mbok ya menyulitkan orang lain saja
Sampai di sini anda sudah bisa menangkap kira-kira konflik apa yang terjadi di antara Marno dan Jane? Hebatnya cerita ini, penulis sama sekali tidak menyusun narasi yang secara eksplisit menjelaskan pertentangan-pertentangan yang terjadi antara Marno dan Jane. Pesan saya untuk Jane adalah, Mbak, daripada ngeyel mengatakan bahwa bulan berwarna ungu, mending mbaknya sekali-sekali main ke kampungnya Marno di timur Candi Prambanan. Cobalah lihat apa warna Bulan kalau dilihat dari sana sambil ngerasain gimana rasanya ditapuk sandal jepit oleh istri Marno.
Satu catatan saya di akhir tulisan, melalui drama pendek ini, Pak Umar Kayam telah sukses mengaduk-aduk imajinasi pembacanya. Cerita sederhana ini berhasil membuat pembacanya berpikir keras, apa yang terjadi diantara kedua tokohnya, konflik seperti apa yang mereka hadapi dan konklusi bagaimana di akhir cerita. Pembaca dibiarkan mengira-ngira sendiri. Bayangkan bila Pak Umar Kayam menulis cerita horor sodara-sodara.. kengerian seperti apa yang akan menghanyuti pikiran pembacanya.
Untuk Pak Umar Kayam, maturnuwun sanget Pak, suwargi langgeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar