Kamis, 01 April 2021

Polisi Tidur, manfaat atau mudharat?

 Setiap sore ketika harus menjemput Luna dari rumah guru pengasuhnya, saya selalu harus melewati satu gang di pemukiman yang harus dilalui dengan penuh penyiksaan. Jalan itu kurang lebih hanya sepanjang 50 meter, tapi disitu terpasang empat buah polisi tidur dengan ukuran yang lebih pantas disebut "tanggul penahan banjir". Sebuah penyianyiaan oli shockbreaker motor yang sangat unfaedah (menurut saya-sebagai korban). Saya penasaran, kira-kira kejadian apa yang pernah terjadi di sana sampai warga setempat dengan semangatnya memasang tanggul banjir di tengah jalan. Memang di sana banyak terdapat anak kecil berlalu-lalang di jalan, tapi kalau dipikir-pikir apakah anak-anak itu juga tidak terganggu dengan adanya si polisi tidur tadi? 

Melihat si polisi tidur tadi, saya harus mengakui bahwa penegakan hukum semacam ini lah yang seharusnya dirindukan oleh masyarakat kita sebagaimana janji politik usang yang terus menerus digaungkan saat kampanye. Si polisi tidur ini dapat dipastikan berlaku tegas ke segala arah, tajam ke atas, tajam kebawah, juga tajam ke kanan-kiri. Dia tidak membedakan mana suzuki carry, mana ferrari. Semakin ceper kendaraan anda, semakin menyakitkan pula akibat yang diterima. Tapi apa ya kita siap menghadapi hukum yang seperti ini?

Di satu sisi, polisi tidur dipasang oleh warga setempat mengantisipasi agar orang tidak ngebut ketika melewati jalur tersebut. Benar tujuannya apabila polisi tidur dijadikan sarana untuk menghukum si pengebut tidak bertanggungjawab. Benar juga bila tujuannya adalah untuk mengantisipasi agar orang tidak ugal-ugalan di jalan lingkungan. Tapi di sisi lain, si polisi tidur itu juga menghukum orang yang tidak bersalah, ya contohnya saya ini.. Jangankan ngebut, narik tuas gas secara agresif pun saya urungkan jika tidak terpaksa. Bukannya karena saya adalah orang tertib berlalu lintas, tapi saya tipe orang yang sadar risiko. Risiko yang nyata di depan mata adalah ban motor saya sudah lumayan tipis. Ora sumbut babar blas lah. 

Balik ke hukuman tadi, saya sangat sepakat bahwa harus ada aturan yang dapat memastikan keamanan dan kenyamanan berlalu lintas, tapi hukuman juga harus memperhatikan "pelanggaran"nya. Disini, di polisi tidur, nampak sebuah penegakan hukum yang justru menghukum semua orang tanpa melihat apakah orang tersebut melakukan pelanggaran atau tidak. mau pelan, mau kenceng atau bahkan dengan kecepatan cahaya, kendaraan yang melalui si polisi tidur wajib "ngglodak". Bedanya adalah sejauh mana anda harus terlempar dari kendaraan. 

Jika dilihat polanya, polisi tidur yang dibangun dapat menunjukkan kondisi lingkungan sekitarnya. Contoh, di permukiman elit, mungkin polisi tidur akan dibuat dari bahan paving, aspal dengan besi bordes di pinggirnya serta dicat sebagai penanda. di permukiman yang lebih "umum", mungkin anda akan melihat polisi tidur dibuat dari campuran semen dan bata atau besi beton dengan ukuran tidak terlalu besar tapi cukup tinggi untuk mengganggu kenyamanan perjalanan anda. di tempat lain mungkin polisi tidur akan dibuat dari tali tambang yang dipaku ke badan jalan. Di tempat lain juga anda akan mendapati polisi tidur terbuat dari selongsong kabel fiber optik atau bahkan balok kayu. Artinya adalah, hukum dibentuk sesuai dengan sudut pandang dan kemampuan si pembuatnya. Adaptif. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang berlaku di satu tempat, belum tentu dapat diterapkan di komunitas lain makplek makplek. Polisi tidur di jalan yang sering dilalui truk, strukturnya pasti akan berbeda dengan polisi tidur di jalan komplek yang paling banter hanya dilalui motor roda tiga pengangkut galon. Meskipun tujuannya sama, kekuatan dan keteguhan hukum itu harus berbeda.

Disinilah terlihat bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara adil. Kalau hukum tersebut tidak dapat menunjukkan keadilan dengan benar, maka di satu titik justru akan memantik reaksi pihak tertentu untuk mendekonstruksi hukum itu, atau kasarnya, melawan. atau, di sisi lain kita bisa melihat bahwa hukum itu selalu bisa di"sesuaikan" oleh pihak manapun-apapun itu motivasinya. contohnya sangat jelas terlihat ketika ada sebuah polisi tidur yang "dimodifikasi" dengan adanya celah-celah tipis di beberapa titik untuk mengakomodasi para pengguna jalan yang sedari awal tidak ada niatan buruk untuk ngebut. biasanya, kalau celah itu rapi, bisa jadi celah di polisi tidur dibuat atas inisiatif atau kesepakatan seluruh warga setempat yang (mungkin telah menerima pencerahan bahwa) menyadari bahwa selain menyusahkan orang lain, polisi tidur itu juga menyusahkan diri mereka sendiri. Lain ceritanya kalau celah di polisi tidur terkesan kasar, cacat bentuknya, ada kesan dipaksakan. Biasanya itu adalah bentuk protes pengguna jalan yang merasa dirugikan secara sepihak. Nah disini terlihat malah muncul konflik antara si polisi tidur dengan pihak-pihak yang sebenarnya bukan obyek yang menjadi munculnya si polisi tidur. Tentunya ini kontra-produktif dengan tujuan dibentuknya hukum itu di awal. Yang mana seharusnya hukum ini berhadapan dengan para pelanggarnya, namun justru dia bermasalah dengan orang yang mungkin tidak memiliki niat untuk melanggar si hukum tadi.

Sebenarnya hukum (baca:polisi tidur) itu urusan niat, baik niat si pembuatnya, atau niat orang-orang yang melanggarnya. Hukum adalah wujud upaya manusia beradab untuk melindungi dirinya atau wilayahnya, namun perlu diperhatikan aspek keadilan dibalik hukum tersebut. Dan harus ada upaya untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak mengganggu keadilan. Wes ngono tok. suwun

Tidak ada komentar:

Opo Moral iku Mural?

Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat. Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ...