Selasa, 31 Agustus 2021

Opo Moral iku Mural?

Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat.
Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ruang publik, karena mungkin menurut pembuatnya mewakili pesan kolektif sehingga harus diekspresikan dalam ruang publik, atau minimal ruang terbuka (yang belum tentu milik umum) yang dapat diakses publik. Jika pesan yang ingin disampaikan hanya ekspresi individu, mungkin nulisnya bukan di ruang publik, tapi di medium privat yang sangat rahasia dan diawali dengan kalimat pembuka "dear diary,". Kembali lagi, bahwa mural itu secara substansial dalah bentuk ekspresi.. tentunya ekspresi yang disampaikan oleh orang yang memiliki kapasitas untuk membuat mural... Sama seperti ekspresi yang dibuat oleh penulis berbentuk artikel, Atau ekspresi yang disampaikan oleh chef mungkin akan berbentuk makanan, atau ekspresi yang disampaikan oleh ormas berupa.. demonstrasi, mungkin.

Mari kita pisahkan karya mural dengan aksi vandal. Mural yang saya bahas disini adalah karya yang mengandung unsur pesan kolektif dan disampaikan dengan tetap memperhatikan kaidah ilustrasi visual.  

Yang namanya ekspresi dari pemikiran atau ide, tuntutan untuk menghadirkan sebuah narasi yang obyektif sepertinya tidak relevan. Kalau harus cover both side- sepertinya itu tugas wartawan ya, bukan seniman. Karena di dalam mural ada unsur individu, yang mana masing-masing individu punya perspektif yang unik dengan sudut pandang tertentu yang belum tentu didukung oleh informasi yang lengkap atau utuh.  Memang manusia memang punya dua mata, tapi seluruhnya menghadap ke depan, dan itulah yang membuat setiap manusia memiliki sudut pandang masing-masing yang unik. Sudut pandang itulah yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk olahan warna atau bentuk dua dimensi dengan komposisi tertentu untuk menarik perhatian orang lain.

Kenapa mural seringkali dibuat dengan ukuran besar, dengan warna dan bentuk-bentuk tertentu? ya karena dia sedang dalam pertarungan dalam ruang publik untuk memenangkan perhatian orang yang berada di sekitarnya. Mural harus dibuat eye catching untuk dapat menarik perhatian orang dari baliho politikus di sekitarnya, atau iklan HP yang bertebaran di pinggir jalan, atau iklan stensilan sedot WC atau gali sumur yang secara ngasal ditempel di tiang listrik. Sebetulnya sebuah mural hanya ingin para pembacanya berpikir atau merasakan "wah iyo, bener iki", atau "Biajinguk, tenanan iki asli bener", "si kae tenan oq, iso dadi pemimpin tenanan ora?". Di sisi lain, pesan yang disampaikan justru menunjukkan alternatif sudut pandang untuk menantang logika para pembacanya. Ini yang keren. Eh ternyata yang datang bukannya apresiasi, tapi malah aparat membawa cat warna netral. 

Penghapusan mural, apalagi jika ada muatan sensitif didalamnya oleh aparat tentu berbeda konteksnya dengan penghapusan mural oleh si pemilik properti yang terganggu oleh unsur visual. Ketika aparat membersihkan mural yang dianggap meresahkan, terlihat seperti ada upaya pembatasan atau pembungkaman gagasan yang timbul di tengah masyarakat, kebebasan mengeluarkan pendapat yang konon dilindungi undang-undang. Di ruang publik, siapakah yang berwenang melakukan penghakiman atas sebuah gagasan? ya seharusnya publik yang menjadi juri disini. Apakah aparat memiliki legitimasi untuk mewakili publik?. Ketika pesan yang disampaikan mengajak orang untuk melakukan kekerasan atau secara eksplisit menghina entitas tertentu, disitulah harusnya mekanisme hukum yang bekerja. Bukan dengan penghapusan sepihak oleh orang yang merasa paling berkuasa menentukan selera publik. Seharusnya mural dilawan dengan mural, itu baru pertarungan yang sebenarnya.. sama seperti pertarungan narasi-narasi di kanal sosial media atau media pers. 

Sebagaimana ide atau gagasan lain, seharusnya ide tidak dihakimi sepihak, tetapi ditantang untuk dibuktikan kebenarannya.. nah seharusnya mural-mural yang sempat heboh lalu dibersihkan oleh aparat beberapa hari ini diperlakukan. Pernah beberapa kali  terlihat di media sosial (sayangnya di luar negeri, belum di negeri kita) ada  sekelompok seniman mural yang meng-cover (kalau cover diartikan dengan "sampul" di bahasa indonesia kok sepertinya aneh ya, meskipun secara substansi maknanya sama, "menutupi") mural yang bernada kebencian terhadap etnis, atau ajakan kekerasan dengan ilustrasi lain yang membawa pesan positif. Yang namanya seni, apalagi di ranah visual, bagus tidaknya seni adalah urusan masing-masing penikmatnya.. begitu pula dengan mural. Orang bisa suka dan bisa membenci sebuah karya visual tergantung dengan seleranya, namun dalam konteks mural, orang bisa membenci gambarnya, tapi bisa juga pada saat yang sama menyukai gagasan yang disajikan.

Karena mural membawa dua muatan, yaitu unsur seni dan unsur pesan, mural yang baik menurut saya adalah ketika dua hal ini dapat dikawinkan yaitu dengan tetap memperhatikan estetika seni dan membawa pesan yang positif bagi kemanusiaan. halah. Disini saya tidak menyebutkan unsur kesopanan. Pesan yang positif itu konten, sedangkan sopan itu adalah cara. Kalau mural harus dibuat dengan sopan, niscaya kita tidak akan pernah melihat mural di ruang publik. Ngurus izin pembangunan rumah ibadah aja ribet, apalagi mau ngurus izin membuat mural yang isinya mengkritik orang yang punya kewenangan mengeluarkan izin.
Moral of the story.. mengkritik itu boleh, menghina itu jangan, dan tolong dicamkan, ngemural kuwi yo ngemoral. ora waton corat-coret neng tembok-e tanggamu. Yang tersindir dengan mural pun, jangan langsung sensi.. dipikir dulu, mungkin pesan yang disampaikan ada benarnya.

Tidak ada komentar:

Opo Moral iku Mural?

Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat. Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ...