Selasa, 02 September 2025

Suara-Suara di Ruang Sepi

 Menjalani kehidupan seorang diri adalah sebuah hal berat bagi sebagian orang, salah satunya bagi saya. Setelah sebelumnya menjalani kehidupan dengan tempo yang sangat cepat, kemudian dihadapkan pada sebuah ritme kehidupan yang bergerak lambat membuat saya harus menghadapi rasa kesepian yang luar biasa mengganggu. Kesepian ini seperti memiliki kebisingannya sendiri yang sangat memekakkan telinga saya. Dulu saya pernah berpikir, sepertinya akan sangat nyaman ketika kita bisa melepas keterburu-buruan, menjalani hidup dalam ketenangan dan keheningan. Ternyata itu salah. pada momen-momen tertentu saya merasa "ini mau ngapain lagi ya?". Saya seringkali kehabisan ide untuk mengisi Waktu. Keheningan yang awalnya saya kira menjadi sebuah kondisi yang rileks, menenangkan ternyata bisa sangat bising dan mengganggu. Awalnya saya berpikir bahwa di dalam keheningan, saya dapat lebih focus mengerjakan hal-hal yang penting dengan tenang. namun ternyata di dalam keheningan tersebut, saya juga tidak dapat melakukan tugas-tugas yang saya kira dapat diselesaikan dengan baik.

Rasa kesepian mungkin salah satu yang membawa kabur inspirasi. Apa yang saya pikir dapat tuntas diselesaikan, ternyata pun tidak dapat saya mulai. Seluruh energi sepertinya terfokus pada upaya agar rasa kesepian tidak muncul dan menyerang secara brutal. Mungkin ini mengapa sejarah sering menunjukkan bahwa pengasingan merupakan salah satu metode untuk menghukum seseorang. Sejarah mungkin ingin menunjukkan bahwa hukuman ini relatif lebih aman dan tidak menyulut permasalahan yang lebih besar. Mereka ingin menghukum secara psikis, memaksa si terbuang untuk melunak. Terbayang bagaimana Bung Karno, Bung Hata, Sjahrir, Pangeran Diponegoro, Pram dan tokoh lain diasingkan. Bukan untuk mematikan secara fisik, namun mencabut dari segala inspirasi dan lingkungan yang menjadi domain mereka. Bagaimana mereka bertahan saat itu? Di sisi lain, pada saat pengasingan, Sebagian tokoh justru menghasilkan karya-karya terbaiknya. Rahasia ini yang harus saya pecahkan.

Sepertinya saya harus menerima kenyataan bahwa untuk menjadi produktif dalam kondisi saat ini tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Saya perlu berdamai terlebih dulu dengan keheningan yang sangat berisik ini. Salah satunya adalah dengan mendengarkan suara. Tentu saja suara yang saya tahu dari mana sumbernya. Saya tidak ingin menambah tekanan batin dengan tiba-tiba mendengar suara yang tidak jelas dari alam mana sumbernya. Dihadapkan pada pilihan yang sangat terbatas, hiburan saya adalah mendengarkan radio internet atau mendengarkan podcast. Selain itu, terkadang saya memilih untuk mendengarkan video musik secara online. Menyalakan playlist video secara random dan membiarkannya menyala terus menerus. Meskipun beberapa kali konten yang masuk bukan tipe saya, suara-suara itu tetap saya biarkan berbunyi. Ketika saya sedang fokus mendengarkan, terkadang saya secara selektif memilih konten suara yang disodorkan. Namun di lain Waktu saya hanya membiarkan lagu-lagu yang ditawarkan diputar begitu saja. Mendengarkan bahwa ada suara lain di ruangan membuat saya sedikit merasa tidak kesepian. Suara-suara ini memberikan ilusi bahwa saya tidak sedang sendiri.

Di satu titik saya merasa mungkin perilaku ini memiliki faktor genetis di dalamnya. Mungkin ini yang dirasakan oleh ibu saya atau kakek saya. Mereka juga memiliki kebiasaan menyalakan suatu alat yang mengeluarkan suara meskipun mereka tidak benar-benar mendengarkan bunyi apa yang keluar. Setelah ayah wafat, ibu saya tinggal sendiri di rumahnya setelah anak-anaknya dewasa dan berkeluarga. TV di rumah selalu menyala meskipun ibu saya tidak sedang berada di ruangan itu. Seringkali saya melihat bahwa TV masih menyala saat ibu sudah tertidur di ruang tengah. Hal yang sama juga dilakukan oleh kakek saya, mertua ibu. Setelah meninggalnya nenek, saya sering mendengar radio di kamar tidur kakek menyala memperdengarkan suara lakon wayang. Saat itu saya mendengar suara dengkuran lembut dari kamar beliau. Sudah pasti beliau sudah tertidur lelap, pikir saya kakek pasti lupa mematikan radio sebelum tidur. Ternyata kebiasaan ini dapat dilihat sebagai suatu upaya bertahan hidup. Baik itu suara dari gawai modern, suara televisi yang tak pernah mati, maupun lakon wayang dari radio tua, semuanya adalah rekayasa suasana yang sama. Merekayasa suasana untuk memecah kesunyian yang memunculkan perasaan tidak sendiri hanya sekedar menjaga pikiran tidak semakin kalut dan untuk membisikkan pada diri sendiri bahwa di tengah semesta yang mahaluas ini, kita tidak benar-benar sendirian.

Dulu saya merasa keheningan adalah sebuah privilege. Ternyata yang saya cari bukanlah hening, melainkan kendali atas kebisingan di kepala saya. Kebisingan dari rasa sepi itu kini saya lawan dengan kebisingan lain yang saya pilih—suara penyiar radio, perbincangan di podcast, atau alunan musik dari gawai. Inilah rahasia yang mungkin juga ditemukan oleh Bung Karno di pengasingannya atau oleh kakek di kamarnya yang sepi. Mungkin perjuangan untuk tetap waras memang sesederhana itu: mengganti satu suara yang menyiksa dengan suara lain yang menyembuhkan. Mungkin ini bukanlah tentang faktor genetis, melainkan tentang kebutuhan manusiawi yang universal. Kebutuhan untuk mendengar bukti bahwa ada kehidupan lain di sekitar kita. Saya, ibu, dan kakek, kami semua hanyalah pewaris dari sebuah cara bertahan yang sama. Malam ini saat alunan musik dari laptop mengisi ruang, saya merasa menjadi bagian dari sebuah tradisi sunyi. Sebuah tradisi merekayasa suara untuk menjaga kewarasan, untuk membisikkan pada diri sendiri bahwa di ujung malam yang panjang, pasti akan datang pagi.

Tidak ada komentar:

Reflecting modernity through a convex glass in a church

Last Sunday morning, while attending weekly mass at kodaira's local catholic church, i noticed something strange. I have been here for s...