@otakkananluki: gak ada yang bisa ngalahin tenangnya sabtu pagi di padang. salamaik pagi sanak sadonyo!"
sebenarnya maksud twit gw adalah gw sedang sangat kangen dengan suasana sabtu pagi ketika gw masih di padang dulu. Benar-benar pagi yang damai, tanpa tugas paper, deadline ataupun rutinitas gak penting lainnya. tapi ternyata twit gw salah ditangkap oleh beberapa follower gw, diawali reaksi swasti yang ngereply twit gw,
@swastindera: udah sampe padang aja ._.RT @otakkananluki
Mendapat respon seperti ini, keisengan gw bertambah liar, gw jadi penasaran, kenapa ketika gw memunculkan pernyataan seperti itu orang cenderung berasumsi bahwa gw sedang berada disana, atribut apa yang membuat orang mengasosiasikan bahwa gw sedang berada pada sebuah lokasi spesifik padahal gw nggak secara jelas menyebut bahwa gw sedang berada disana. Gw butuh bukti lebih jelas bahwa orang memiliki kecenderungan seperti itu, lalu gw bales lah twit swasti dengan gini,
Twit balesan gw tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa gw mengiyakan atau men-tidakkan statemen swasti, tapi gw hanya memunculkan indikasi kesan yang memperkuat dugaan orang luar terhadap titik lokasi gw dengan menyebutkan kata "rendang". Dan ternyata setelah twit tadi muncul beberapa respon dari follower lainnya,
@wahjoekrist: Salam buat "uni" ya kang. RT@otakkananluki
Dari respon-respon diatas gw mengambil kesimpulan bahwa orang memiliki kecenderungan untuk mengasosiasikan sesuatu dari indikasi-indikasi yang diterima oleh pemikiran mereka. Gw bilang kecenderungan karena nggak semua respon langsung mengasosiasikan bahwa gw sedang di padang. Gw enggak memunculkan tanda eksplisit tapi gw hanya memunculkan sinyal-sinyal yang semakin memperkuat dugaan mereka sendiri, memperkuat asumsi mereka bahwa gw sedang berada di padang saat ini. Padahal jelas-jelas gw di kosan sepanjang pagi ini.
Gw hanya memunculkan sebuah pernyataan, dan kemudian, voila!! permainan berjalan secara otomatis.. seperti ada sistem tidak kasat mata yang mengembangkan pernyataan iseng gw menjadi sebuah realita dalam pikiran orang-orang dalam sistem itu. Lalu kemudian mereka mengembangkan asumsi-asumsi ini dalam kerangka pemikirannya masing-masing. Asumsi tersebut yang kemudian disebarluaskan justru semakin memperbesar cakupan asumsi ini kepada orang-orang lain yang kebetulan menerima informasi asumsi tersebut.. dan mereka (orang-orang baru ini) terdorong untuk memunculkan asumsinya sendiri.. yang mana asumsi-asumsi ini linier dengan pesan yang mereka terima sebelumnya #halahngomongopotoiki.
Kesimpulan gw dari keisengan ini adalah orang cenderung mudah untuk dipengaruhi hanya dengan informasi implisit tanpa kejelasan yang terukur. Kedua, asumsi-asumsi ini ketika diperkuat dengan indikator-indikator pendukung akan sangat mudah untuk ditranslasikan sebagai realita (meskipun hanya dalam lingkup pemikiran) tapi hal ini sudah sangat cukup untuk memperbesar gema asumsi tersebut. Ketiga, gema ini akan semakin menggaung ketika disampaikan ulang kepada pihak lain diluar sistem. Dan secara singkat, pihak-pihak diluar sistem yang terpengaruh oleh asumsi realita tersebut akan semakin memperluas jangkauan pernyataan awal tadi.
Simpelnya gini deh,
gw ngetwit, dibaca oleh @_bangel_ trus dia ngewatsap gw, nah dia juga ngasi tau @re_sarahregina kalo gw lagi di padang, rere kemudian ngecek timeline gw, dia ikut-ikutan berasumsi kalo gw lagi di padang, kemudian dia ngeBBM gw memastikan posisi gw lagi dimana. Kemudian si rere mencak-mencak ketika gw jawab bahwa gw nggak sedang di padang :)
Dear all, sorry :) terima kasih sudah menjadi responden dari penelitian iseng gw :)
err, penelitian ini masih sangat cacat karena gw mengesampingkan faktor reputasi si sumber pernyataan.. kalo gw nulis twitnya "gak ada yang bisa ngalahin tenangnya sabtu pagi di stockholm" pastinya nggak akan ada yang percaya dan penelitian ini akan gagal dengan sukses :)
1 komentar:
hahahasyemmm...cerdas sekali pak ketum ini..(dr salah satu respondenmu)
Posting Komentar