Senin, 05 November 2012

hujan dan esensi kegagalan dialog

Ini semua berawal dari serangkaian twit gw hari minggu sore yang intinya merupakan pelampiasan kekesalan karena rencana-rencana harus digagalkan karena hujan yang ajrut-ajrutan. Gw curiga hujan sore itu bukan hujan yang wajar.. langit sangat gelap, tapi hujan cuman gerimis tapi awet. hujan-gerimis-terang-hujanlagi-gerimislagi-teranglagi-hujanterus-gerimisterus gitu terus-terusan. Intinya gw bener-bener dibikin senewen dengan hujan ini. Selain pasrah dan ngebatalin rencana ngajar, yang bisa gw lakuin hanya mengutuki keadaan meskipun gw sadar, mengutuki keadaan gak akan mengubah keadaan... yah at least ada yang bisa dibuang tanpa menyudutkan pihak lain (termasuk si hujan tepatnya).
Sebentar, dari awalnya gw gak memaksudkan twit gw untuk siapapun, gw hanya ingin melepas kejengkelan karena harus terkunci di kosan. Tapi setelah itu gw baru nyadar ternyata gw tersudutkan sendiri. Tiba-tiba ada beberapa twit muncul ngemention gw sambil bawa-bawa ayat yang intinya "menasihati" gw agar tidak mengutuki hujan dan lebih "mensyukuri" hujan yang turun. eh menasihati atau menghujat ya? Bentar, gw gak ngerti ada angin apa disini sampe-sampe gw dapet mention seperti ini. Yah, gw sih cuman bisa bilang terimakasih atas nasihatnya, tapi mbokya sebelum sok-sok-an memberi nasihat (apalagi bawa-bawa ayat) dipikir dulu konteksnya apa. dari twit-twit itu gw melihat mereka tidak berusaha melihat alasan dan konteks gw ngetwit, tapi langsung ngejudge berdasarkan pemahaman mereka. See? secara mikro dari kejadian ini gw ngeliat kenapa dialog jarang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat di negeri kita.
kok jauh amat hubungannya?
Jadi disini gw melihat bahwa secara individu ada kecenderungan orang untuk berusaha menyeragamkan persepsi orang lain (atau kadang dalam beberapa kasus cenderung "memaksakan"). Ya contohnya tadi, secara mikro terlaihat dari reaksi atas twit gw, secara langsung gw dipaksa harus mengikuti pemahaman mereka tanpa orang-orang ini melihat apa sebenarnya masalah gw dengan hujan. hadeuuu.. Gimana mau dialog kalau tidak ada usaha untuk melihat masalah dalam konteks yang sesuai. 
Kalo secara individu aja keadaannya udah seperti ini, gimana secara komunal? nasional? bisa bubar jalan lah negara kita.

1 komentar:

Listra Mindo Lubis mengatakan...

orang Indonesia apalagi suku gue (Batak) emang agak susah dalam hal "dialog". Jarang banget ketemu rekan diskusi yang diakhir diskusi tetap bisa memandang bahwa kita hanya berdiskusi. bukan berujung permusuhan. Sebagai orang yang cukup rajin "berkicau" gue juga kadang bingung dengan banyak hal yang gue kritik secara umum, tapi diambil hati oleh sebagian orang. dan berujung pada, pemutusan hubungan pertwitteran atau block memblock. sorry, kalau terkesan curhat. but well man, We miss that situation when setiap orang yang bermusuhan atau menganggap demikian, akhirnya saling memuji atau membacakan puisi. Nice post. :0

Khong Guan: Biskuit Lebaran Tanpa Menunggu Lebaran

Hari jumat kemarin saya mencoba ikut acara komunitas baru. Bukannnn, bukan komunitas rahasia yang membahas teori konspirasi bahwa bumi berbe...