Sabtu, 06 Oktober 2012

melawan kriminalisasi "orang ketiga"


Kadang gw berpikir bahwa sangat menyedihkan ketika orang-orang yang diberi predikat "pihak ketiga" atau "orang ketiga". Predikat ini memberi kesan bahwa orang yang menyandangnya adalah pelaku sebuah tindak kriminalitas yang patut diberi hukuman 15 tahun kurungan perasaan. Padahal orang ketiga, orang pertama atau orang kedua hanyalah berbeda dari sudut pandang si pihak itu terhadap pihak lainnya. Saking kasihannya, kadang predikat orang ketiga memiliki level yang sama dengan minyak babi atau alkohol. HARAM! Kalo bahasa eksis sekarang,bisa dikatakan terminologi "orang ketiga" sedang mengalami kriminalisasi.

Padahal jika mau dipikirkan lebih lanjut, adanya orang ketiga ini bisa jadi tanpa disadari disebabkan oleh "orang pertama" atau "orang kedua" itu sendiri. Kok bisa? Survei membuktikan, orang ketiga itu biasanya adalah orang dekat, atau bisa juga dibilang "orang dalam". Bisa jadi orang ketiga ini adalah sepupu, temen sekolah, temen nyalon atau bahkan bisa jadi temennya tarzan di timbuktu (sori kalo ini sih bukan orang dalam, tapi orang pedalaman).

Adanya orang ketiga ini tidak bisa dipisahkan dari proses metamorfosis sistematis dari awalnya hanya "orang lain" menjadi "orang ketiga". Proses ini juga tanpa disadari disebabkan oleh salah satu pihak yang memberikan akses untuk masuk terlalu dalam. Ibaratnya, si orang pertama atau orang kedua ini menyerahkan duplikat "kunci rumah" kepada si orang ketiga. Orang ketiga ini pastinya juga akan dengan senang hati diundang masuk ke ruang dalam meskipun pada awalnya orang tersebut tidak berniat untuk "mencuri" apapun. Tapi pemirsa, kejahatan tidak terjadi karena adanya niat pelaku tapi juga karena adanya kesempatan! waspadalah! waspadalah!.. Nah di poin inilah biasanya orang ketiga disalahkan atas tuduhan pencurian yang dalam KUHP pasal 362 didefinisikan "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum".

Padahal jelas-jelas pencurian ini tidak akan terjadi kalau tidak ada unsur kesengajaan dari si korban :D yah meskipun bukan mencuri sesuatu yang material, tapi pencurian perasaan bisa memberikan dampak yang sangat material bagi si korban, contohnya: PUTUSnya hubungan antara orang pertama dan orang kedua! atau yang lebih parah adalah dampak dari pencurian ini tiba-tiba ada obat anti serangga yang harus terminum secara tidak sengaja oleh si orang ketiga.

Jadi menurut gw, dalam hal ini si orang ketiga juga bisa disebut sebagai korban karena dia harus terjebak dalam sebuah hubungan. Ibaratnya, si "terduga orang ketiga" ini nyasar di jalan tol! tidak ada jalan balik atau perputaran sehingga satu-satunya jalan yang bisa dilalui si orang ketiga ini adalah harus melanjutkan pernyasarannya sampai pintu keluar terdekat. Setelah sampai di pintu tol pun mungkin akan terjadi konflik, orang ketiga yang harus keluar atau si pihak pertama yang harus ditabrak sampai keluar tol? Bahkan meskipun pada akhirnya si orang ketiga ini yang harus terpaksa keluar dari jalur tol, kadang si pihak kedua masih saja meraung-raung dari dalam jalur tol dan ini tentu saja membuat si orang ketiga galau ingin masuk kembali dan kebut-kebutan di jalan tol.

Kesimpulan disini adalah gw ingin menunjukkan bahwa adanya pihak ketiga tidak bisa dilepaskan dari akses yang diberikan oleh pihak kedua  dan/atau kebodohan oleh pihak pertama. Jadi menurut gw si "orang ketiga" tidak bisa dihukum begitu saja atas tuduhan "merusak hubungan orang".

Next episode, dilema hubungan antara "orang pertama" dan "(yang merasa dirinya adalah) orang kedua"...

Tidak ada komentar:

Opo Moral iku Mural?

Beberapa mural yang muncul bernada kritik kepada pemerintah dihapus sepihak oleh aparat. Pertama, mural adalah bentuk ekspresi, biasanya di ...